WAWASAN KEISLAMAN
Minggu, 27 Juli 2014
Tempat Tidur Rasulullah Saw
Bismillahirrohmanirrohiim
Aisyah berkata: Seorang wanita dari kaum Anshar datang kepadaku,
lalu ia melihat tempat tidur Rasul Saw. adalah sebuah mantel yg
dilipat Maka ia pulang, lalu ia mengirimkan tempat tidur yg berisi
kapas kepadaku.
Ketika Rasul Saw. datang kepadaku dan melihat
tempat tidur itu Beliau Saw. bertanya, “Apa ini, wahai Aisyah?”
“Wahai Rasul, seorang wanita kaum Anshar datang kepadaku. Ia
melihat tempat tidurmu…”
maka ia pun pulang dan mengirimkan
tempat tidur ini kepadaku,” jawab Aisyah.
“Kembalikan tempat tidur itu,” perintah beliau kepadaku,
seperti tdk
suka dgn pemberian itu.
Namun aku tdk segera mengembalikannya,
krn aku suka dgn tempat tidur itu
Hingga beliau memerintahku sebanyak 3 kali, lalu beliau berkata, “Kembalikanlah tempat tidur itu, wahai Aisyah. Demi Allah
seandainya aku ingin, maka Allah Swt. akan menjalankan gunung
emas dan perak bersamaku.”
[kita simak riwayat lainnya…]
Aisyah pernah ditanya, “Apakah tempat tidur Rasul Saw. di dalam rumahmu?”
“Dari kulit yg berisi rumput kering.” jawabnya Ketika Hafshah ditanya,
“Apakah tempat tidur Rasul?” Ia menjawab, “Kain kasar yang dilipat 2 kali, lalu beliau tidur di
atasnya.” Suatu malam aku pernah melipat kain itu 4 kali utk memberi
kebaikan kpd beliau Saw. maka ketika pagi datang, beliau bertanya…
“Tempat tidur apakah yang engkau persiapkan untukku malam tadi?”
Aku menjawab, “Itu adalah tempat tidurmu, namun aku telah
melipatnya dengan 4 lipatan agar engkau tidur lebih nyenyak.”
Beliau Saw. berkata kepadaku “Engkau kembalikan tempat tidur itu
pada keadaannya semula, karena ia menghalangiku menunaikan
shalat tadi malam.”
Subhanallah ...
Rabu, 12 Maret 2014
Keutamaan Ilmu daripada Harta
Bismillahirrohmanirrohiim
Sayyidina Ali bin Abi Thalib RA, memberikan gambaran sepuluh tentang keutamaan ilmu daripada kebendaan yaitu:
1. Ilmu adalah warisan para nabi, sedangkan harta adalah warisan dari Fir’aun, Qarun, dan lain-lain.
2. Ilmu selalu menjaga orang yang mempunyainya, sedangkan harta dijaga oleh orang yang mempunyainya.
3. Orang yang berilmu banyak mempunyai teman, sedangkan orang yang berharta mempunyai banyak lawan.
4. Ilmu apabila diberikan kepada orang lain akan bertambah sedangkan harta bila diberikan akan berkurang.
5. Ilmuwan sering dipanggil alim, ulama, dan lain-lain. Sedangkan hartawan sering dipanggil bakhil, kikir, dan lain-lain.
6. Pemilik ilmu akan menerima syafaat pada hari kiamat, sedangkan pemilik harta dimintai pertanggungjawabannya.
7. Ilmu apabila disimpan tidak akan habis, sedangkan harta bila disimpan akan usang dan lapuk.
8. Ilmu tidak usah dijaga dari kejahatan, sedangkan harta selalu dijaga dari kejahatan.
9. Ilmu tidak memerlukan tempat, sementara harta memerlukan tempat.
10. Ilmu akan menyinari hati hingga menjadi terang dan tenteram, sedangkan harta akan mengeraskan hati.
“ Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari ilmu yang tidak bermanfaat dari hati yang tidak khusyuk, dari nafsu yang tidak pernah kenyang, dan dari doa yang tidak diperkenankan.” Aamiin.
Jumat, 07 Maret 2014
Al-Khaidir di Mata Kaum Sufi
Mursyid Terbaik Yang Sangat Misterius
Kalau ada manusia paling misterius di muka bumi ini, maka al-Khidirlah orangnya. Beliau tokoh yang amat terkenal, tapi jejaknya lepas dari pengamatan sejarah. Hanya cerita pribadi dari mulut ke mulut, tak meninggalkan bukti sejarah apapun. Bahkan, meski memiliki kisah yang unik dengan Nabi Musa, kitab Taurat maupun Injil tidak menceritakannya. Kisah itu hanya diceritakan dalam al-Qur’an, meski tak secara langsung disebutkan namanya.
Sisi misterius memang memainkan peran tersendiri dalam membentuk ketokohan al-Khidir. Atas dasar itu, kalangan sufi menyebutnya sebagai tokoh rijâlul ghaib. Syekh Abdul Qadir al-Jilani menyatakan, “Di antara para wali ada orang yang sudah fanâ’ (menghilang) dari kebutuhan makan dan minum, menghindar dari umat manusia dan tak terlihat oleh pandangan mata mereka, ia diberi umur panjang, tidak mati-mati, seperti al-Khidir alaihis salam….”
Dalam banyak hal, kisah beliau bersama Nabi Musa menjadi sumber inspirasi kehidupan batin para sufi, meski dalam beberapa hal pula, ada beberapa oknum dari kelompok sufi yang salah paham, dan justru menganggap kisah tersebut sebagai perseteruan antara ilmu zahir dan ilmu batin, atau antara syariat dan hakikat. Bahkan, atas dasar kisah itu, aliran Bathiniyah beranggapan bahwa syariat hanya berlaku untuk para nabi dan kalangan awam, tidak berlaku untuk kalangan wali atau kalangan khawâsh.
Al-Khidir memang begitu lekat dengan benak kaum sufi. Syekh Muhammad al-Kasanzan, Khalifah Tarekat Qadiriyah dunia pada akhir Abad 14 Hijriah, menyatakan bahwa al-Khidir adalah ramzun lit-tharîq al-mûshil ilal-hayât al-khadhrâ’ al-abadiyah. Berarti dalam anggapan beliau, al-Khidir adalah semacam perlambang bagi jalan tasawuf.
Menurutnya, kata “khidr” adalah lambang kehidupan. Khidir memiliki akar kata yang sama dengan khudrah yang berarti hijau. Hijau adalah lambang kehidupan. Secara jasmani beliau hidup dalam masa yang panjang, dan secara ruhani beliau adalah lambang kehidupan batin.
Kenyataannya, al-Khidir memang menjadi ikon yang tak tergantikan dalam perjalanan kehidupan sufistik. Kisah para tokoh sufi, baik para wali yang masyhur di tingkat dunia ataupun para wali yang masyhur di tingkat lokal, nyaris tak pernah lepas dari dengan “bumbu” kedatangan beliau. Bahkan, beliau terkesan seperti menjadi pemberi stempel bagi status kewalian.
Karena banyaknya pengalaman mistik para sufi dengan al-Khidir ini, maka mereka menjadi kelompok yang paling gigih dalam membela pandangan teologis bahwa al-Khidir masih hidup. Bagi kalangan sufi, keberadaan al-Khidir adalah nyata dan bersentuhan langsung dengan dunia empiris mereka.
Dalam referensi-referensi tasawuf tidak terlalu sulit menemukan kisah-kisah pertemuan para sufi dengan al-Khidir u. Seperti dalam kisah-kisah Umar bin Abdil Aziz, Ibrahim bin Adham, Abdullah bin al-Mubarak, al-Junaid al-Baghdadi, al-Khawwash, Ahmad ar-Rifa’i, dan tokoh-tokoh sufi masyhur yang lain.
Syekh Abdul Qadir al-Jilani, tercatat memiliki kisah yang cukup banyak dengan Al-Khidir. Al-Khidir menjadi semacam pembimbing bagi beliau, mulai sejak tirakat pengembaraan selama 25 tahun, hingga beliau menetap di Baghdad dan menjadi tokoh besar yang didatangi oleh para salik dari seluruh penjuru dunia. Sebelum masuk ke Baghdad dan mengakhiri tirâkat pengembaraannya, konon al-Khidir menyuruhnya untuk tirâkat di pinggir sungai di tepi Baghdad selama 7 tahun. Beliau makan dari rumput dan tumbuh-tumbuhan di sekitarnya, hingga warna hijau rumput membekas di lehernya. Setelah itu, al-Khidir mengatakan, “Hai Abdul Qadir, masuklah ke Baghdad.”
Selain Syekh Abdul Qadir al-Jilani, tokoh sufi lain yang memiliki banyak kisah dengan al-Khidir adalah Ibnu Arabi. Beliau menceritakan sendiri kisah-kisah itu dalam kitabnya al-Futuhat al-Makkiyah
Maka, tidak heran jika Muhammad Ghazi Arabi, seorang peneliti tasawuf di jazirah Arab yang masih semasa dengan Syekh al-Kasanzan, menyatakan, “Khidir adalah guru kalangan sufi. Beliaulah yang menjadi penuntun dalam perjalanan panjang mereka. Maka, bagi para sufi, Khidir adalah guru, teman bicara, dan kawan terbaik yang pernah menyertai mereka. Dialah gurunya para syekh. Ia membimbing dan menuntun para salik, langkah demi langkah.”
Apa yang diungkapkan oleh Ghazi Arabi itu sangat pas dengan konsepsi para sufi tentang al-Khidir. Pertemuan dengan al-Khidir selalu membawa pesan yang sangat berharga bagi jalan suluk yang mereka tempuh. Bagi mereka, al-Khidir memang pembimbing yang paling teduh, seteduh warna hijau yang terpantul di dalam namanya.
Mereka Lebih Suka Menyebutnya Wali
Umumnya orang lebih suka menyematkan kata “nabi” kepada al-Khidir. Tapi tidak dengan para sufi. Mereka merupakan kelompok yang paling gigih menyatakan bahwa al-Khidir adalah Waliyullah. Pendiri tarekat Tijaniyah, Syekh Abul Abbas at-Tijani, menyatakan, “Ketahuilah, al-Khidir itu adalah seorang Wali, bukan Nabi menurut pendapat mayoritas.”
Syekh Ibnu Arabi menyatakan, “Perdebatan mengenai status al-Khidir, apakah beliau nabi atau wali, hanya terjadi di kalangan ulama-ulama zhâhir, bukan di kalangan kita (kalangan sufi atau kalangan batin). Dalam pandangan kita, tak ada perdebatan, bahwa al-Khidir adalah wali, bukan nabi.”
Lebih jauh, Syekh Muhammad al-Makki menyatakan bahwa dalam pandangan kaum sufi, al-Khidir mencapai Maqâm al-Afrad. Maqâm ini berada di atas para wali shiddiqîn tapi masih di bawah maqâm-nya para nabi.
Dalam istilah Ibnu Arabi, maqam ini disebut khatmul-auliya (pemungkas para wali). Pada tingkat ini, seorang wali bisa melakukan penggabungan di antara dua syariat. Juga, memiliki akses jalan pintas untuk memahami kebenaran syariat tanpa melalui proses berpikir. Mula-mula derajat khatmul-auliyâ’ dicetuskan oleh al-Hakim at-Tirmidzi, tokoh sufi dari Balkh, dan sempat menjadi perdebatan sengit. Al-Hakim at-Tirmidzi bahkan sempat diusir dari Balkh karena dianggap menyetarakan wali atau bahkan melebihkan mereka atas para nabi.
Kecenderungan kelompok sufi menyatakan bahwa al-Khidir adalah wali memiliki kaitan erat dengan anggapan mereka bahwa beliau adalah simbol dan ikon bagi kalangan sufi. Sementara, tingkat spiritual yang menjadi wilayah para sufi adalah kewalian.
Jika ditelusuri lebih lanjut, hal itu tetap bermuara pada kisah pertemuan al-Khidir dengan Nabi Musa. Apa yang dilakukan oleh al-Khidir saat itu sarat dengan urusan hakikat. Sementara, hakikat atau batin, merupakan poros utama kalangan sufi dalam membangun pola pikir mereka.
Oleh karena itu, pernyataan al-Khidir sebagai wali ditolak oleh beberapa kalangan di luar kelompok sufi. Mereka cenderung menyatakan bahwa al-Khidir adalah nabi. Beliau mendapatkan wahyu dan syariat dari Allah yang berbeda dengan syariat Nabi Musa. Karena beliau memang bukan umat Nabi Musa, maka syariat yang digunakan juga bukan syariat Nabi Musa.
Jika status al-Khidir adalah wali, maka kisahnya bersama Nabi Musa memberikan kesimpulan bahwa seseorang bisa melakukan sesuatu berdasarkan ilham. Sebab, al-Qur’an sendiri memberikan pengakuan terhadap apa yang dilakukan oleh al-Khidir dalam kisah itu. Padahal, penerima ilham bukanlah orang yang maksum, masih mungkin salah.
Maka, menjadikan ilham sebagai landasan yang sah dalam melakukan sesuatu berpotensi merusak tatanan syariat, kecuali jika ilham itu hanyalah dipahami sebagai pijakan sekunder yang harus patuh sepenuhnya pada ketentuan syariat.
Jadi, kubu ini beranggapan bahwa poros perdebatan status al-Khidir sebetulnya terletak pada polemik mengenai kekuatan hakikat: apakah hakikat bisa mem-bypass syariat?. Jika al-Khidir adalah nabi, berarti kisah Musa-Khidir adalah kisah tentang perbedaan antara satu syariat dengan syariat yang lain, dan itu sudah lumrah terjadi. Jika al-Khidir adalah wali, maka kisah itu adalah kisah tentang kekalahan syariat dari hakikat atau kekalahan wahyu dari ilham.
Anggapan tersebut boleh jadi benar, tapi mungkin juga lahir karena kecurigaan yang berlebihan. Sebab, mayoritas ulama dari kalangan sufi sangat menjunjung tinggi syariat, meskipun mereka tidak menentang status al-Khidir sebagai wali.
Komitmen yang luar biasa terhadap syariat dengan sangat mudah kita temukan dalam berbagai pernyataan Imam al-Junaid, Imam al-Ghazali, Abu Thalib al-Makki, dan ulama-ulama sufi yang lain. Padahal, Imam al-Ghazali dan Abu Thalib al-Makki juga tidak menentang status al-Khidir sebagai wali. Dalam Ihyâ’ dan Qutul-Qulub, dua ulama sufi itu sama-sama mengutip mimpi Ibrahim at-Taimi. Ibrahim bermimpi bertemu Rasulullah r, mengonfirmasi Hadis yang pernah diterimanya dari al-Khidir, apakah Hadis itu betul dari beliau?. “Benar al-Khidir, benar al-Khidir. Semua apa yang ia ceritakan adalah benar. Dia penghuni bumi yang paling alim. Dia pemimpin pada wali abdal...” jawab beliau dalam mimpi Ibrahim.
Baik Imam al-Ghazali maupun Abu Thalib al-Makki sama-sama tidak memberikan catatan apapun terhadap mimpi Ibrahim ini. Berarti secara tersirat, beliau menyetujuinya. Padahal, beliau merupakan ulama sufi yang sangat gigih dalam membela syariat.
Apapun status al-Khidir dalam kisahnya bersama Nabi Musa, hal itu tetap tak mempengaruhi kekuatan syariat. Bagi siapapun syariat adalah pedoman mutlak. Tanpa prinsip itu, tatanan keagamaan akan jadi amburadul.
sumber : http://rafystech.blogspot.com
Jumat, 28 Februari 2014
Ibnu Hajar Al-Asqalani
Bismillahirrohmanirrohiim
Mutiara Berserak di Pintu Allah
la bukan hanya dikenal sebagai salah seorang sufi dan ahli fikih yang masyhur. Tapi juga penyair dengan puisi Ketuhanan yang indah
Sampai saat ini, para santri di Indosesia sangat akrab dengan sebuah kitab fikih yang masyhur, Bulughl Maram. Pengarang kitab ini ialah seorang uiama dan sufi yang terkenal, Ibnu Hajar Al-Asqalani. Tapi, sesungguhnya ia lebih dikenal sebagai ahli fikih ketimbang sufi atau ahli tasawuf. Sampai kini, pendapat-pendapatnya dalam ilmu fikih masih menjadi bahan telaah dan referensi para ulama, terutama ketika mereka menetapkan sebuah fatwa.
Meski kurang dikenal sebagai sufi, pandangan-pandangan sufistiknya terungkap dalam kumpulan puisinya, Al-Munabihat 'ala al Isti'dadli Yaum al-Ma'ad.
la lahir di Kairo pada 12 Syakban 773 M atau 8 Februari 137 M. Nama lengkapnya Syihabuddin Abu Fadl Ahmad bin Nuruddin Ali bin Muhammad bin Hajar Al-As qalani. Tak jelas bagaimana asal-usul keluarganya. Adapun julukan Al-Asqalani merupakan bagian dari tradisi muslim saat itu. Ayahnya, Nuruddin Ali (wafat 777 Hijriah/1375 Masehi), dikenal sebagai ulama termasyhur yang menjabat mufti di Mesir. Adapun ibunya, Tujjar, berasal dari keluarga pedagang kaya.
Namun, masa kecil Ibnu Hajar penuh dengan pengalaman sedih. Semenjak berusia empa ttahun, ibunya meningal dunia. Maka ia pun diasuh Zakiuddin Abu Bakar Al-Karrubi, seorang saudagar kaya. Di bawah bimbingan Zakiuddin, Ibnu Hajar mendapat pelajaran agama dan bimbingan spiritual, sehingga pada umur sembilan tahun ia sudah hafal Al-Quran. Belakangan, ia berguru kepada beberapa ulama masyhur, seperti Syekh Jalaluddin al-Buqini (ilmu nahu); Syekh Ibnu al-Muan al-Fairuzabadi dan Syekh Muhibuddin bin Hisyam (Ilmu saraf) At-Takhuni (qiraah); Syekh Syamsuddin Muhammad bin Ali bin Qattam (sejarah).
Ibnu Hajar memang murid yang rajin dan cerdas. Dengan tekun, ia mencatai secara terperinci pelajaran sejarah, nama para gurunya, dan kitab-kitab yang dibacanya. Kitab-kitab yang dibacanya, antara lain, Al-Mu'jam al-Mufahras, Al-Maqasid al Aliyat fi Fihris al-Marwiyat (indeks hadis), Al-Majma al-Mua'sas (pelengkap katalog ayat Al-Quran).
Merasa belum cukup dengan itu, ia kemudian mengembara untuk menim-ba ilmu. la antara lain berkunjung ke pusat-pusat ilmu seperti Hejaz dan Yaman, lalu Suriah dan Palestina. Dalam perjalanan ini, ia berjumpa dengan guru utamanya dalam ilmu hadis, Syekh Zainuddin al-lraqi. la juga mengaji kepada ulama ilmu hadis dan fikih, Syekh Izzuddin bin Jama'ah. Dari kedua gurunya yang masyhur itu, ia memperoleh ijazah untuk mengeluarkan fatwa.
Setelah puas berguru kepada sejumlah ulama besar, ia pun mengamalkan ilmunya sebagai pendidik. la pernah menjadi guru madrasah, dosen, hakim, mufti, khatib dan pustakawan. la mengajar ilmu hadis, tafsir, tikin. Kuhah-kuliahnya di Madrasah Syai-khumyah dan Mankutimuriyah, Kairo, seialu mendapat sambutan hangat dari para mahasiswa.
Salah satu karirnya yang penting ialah ketika ia menjabat kepala bidang pendidikan dan administrasi selama 35 tahun di Perguruan Barnaysiyyah, Kairo dari tahun 141 sampai 1445 M. Selanjutnya ia pindah mengajar di Darul Hadits Al Kamaliah, masih di kota kairo.
Pada 1423 M ia menjabat wakil Agung sementara rekanya syekh Jalaluddin Al Baqilani sebagai Hakim Agung, akan tetapi beberapa bulan kemudian, ia dilengserkan gara-gara kebijakannya yang dinilai bersebrangan dengan politik pemerintahan Mesir sebagai mufti, dan jabatan ini dapat ia pertahankan selama 20 tahun.
Sebagai ulama, ibnu hajar termasuk produktif menulis kitab, terutama dalam ilmu hadits. Kitabnya yang termasyur berjudul Fat Al Bahri bi Syarkh al Bukhari (1429M), telaahd an komentar mengenai kitab shahih al Bukhari. Kitab itu tidak hanya beredar di mesir, tapi juga di parsi dan asia tengah. Kitab kitab karangn lainya yaitu Al Isabah fi Tamyiz al Sahabah, Tanzib at Tahzib, Lisan al Mizan, Anba al Gumr dan Bulughur Mahram in Adilat al Ahkam. Dalam kitab kitab tersebut ia menggunakan gagasannya tentang ilmu fikih, hadits dan lainnya.
Selain itu semua, Ibnu Hajar ternyata adalah juga seorang penyair. Puisinya terkumpul dalam kitab Al Munabihat ‘ala al Isti’dad li Yaum al-Ma'ad. Banyak mutiara hadis dan uangkapan para ulama terkenal yang ia sunting dalam sejumlah puisi.
Berikut, sebait puisi sebagai kata pengantar kumpulan puisinya, Menuju Pintu Allah, Mutiara Berserak.
Bismillahirrahmanirrahim
Selaksa puji bagi Allah Sang Esa
di setiap waktu dan masa
Kesejahteraan abad bagi Rasul-Nya
Muhammad, Sang Mustafa
Dari kisi-kisi hati
ingin kusampaikan lewat karya ini
Bekal kewaspadaan
untuk meniti perjalanan panjang
lewat untaian mutiara
yang terajut dua-dua
tiga-tiga, empat-empat
dan seterusnya
hingga untaian sepuluh mutiara kata
Semoga berguna
Sumber: Al Kisah
Rabu, 19 Februari 2014
Rambut Gondrong dan Dinamika Perlawanannya
Bismillahirrohmanirrohiim
Ada banyak orang yang beranggapan, mereka yang memelihara rambut gondrong sebagai tipikal manusia yang tak mau diatur, bebal, dan sering sekali disebut (maaf!) tidak mengenal sopan santun. Tidak mengherankan, dalam film-film borjuis para penjahat digambarkan dengan rambut gondrong, memakai kacamata hitam, dan bertatto.
Namun, jika ditilik secara historis, seluruh argumen di atas akan segera berguguran. Sebagai missal, meminjam sejarawan Anthony Reid, rambut gondrong sangat melekat dalam tradisi masyarakat Asia Tenggara, termasuk nusantara saat itu, sebagai perlambang atau simbol kekuatan dan kewibawaan seseorang.
Dalam masyarakat Indonesia, setelah masuknya pengaruh islam dan barat, rambut mulai menjadi penanda seksualitas seseorang; laki-laki identik dengan rambut pendek dan rapi, sedangkan perempuan berambut panjang. Pemotongan rambut juga semakin dikaitkan dengan persoalan agama, sesuatu yang membedakan dengan tradisi leluhur masyarakat setempat yang dianggap belum beragama.
Selain peci dan pakaian rapi sebagai simbol aktivis pergerakan, rambut gondrong pun pernah menjadi identitas para pemuda dalam perjuangan revolusi Indonesia. Mulai dari jaman Jepang hingga masa-masa revolusi fisik, para pemuda pejuang semakin identik rambut gondrong dan seragam militer.
Oleh orang-orang Belanda, yang sudah terbiasa dengan rambut pendek dan disisir rapi seperti umumnya penampilan orang Eropa saat itu, para pemuda pejuang ini dilabeli cap “ekstremis”. Saat itu, terutama dari para pemuda dan bekas “jago” yang merasa terpanggil oleh revolusi, para pejuang semakin akrab dengan rambut panjang terurai, berseragam militer, dan sebuah pistol yang tersemat di pinggang.
Salah satu saksi hidup dan pelaku sejarah saat itu, Francisca C. Fanggidaej punya penggambaran sangat menarik soal itu. “Kota Yogya mendidih dari semangat dan tekad juang pemuda. Pekik dan salam MERDEKA memenuhi ruang udara kota. Jalan-jalan dikuasai pemuda: kebanyakan berambut gondrong, mereka bersenjatakan pestol, senapang, brengun sampai kelewang panjang Jepang, dan sudah tentu bambu-runcing. Kepala mereka mereka ikat dengan kain merah …. Yah, semangat juang, rasa romantisme dan kecenderungan kaum muda untuk berlagak dan bergaya bercampur dengan sikap serius dan tenang dengan tekad pantang mundur yang terpancar dari mata dan wajah mereka,” demikian ditulis Francisca Fanggidaej.
Ali Sastroamidjojo (1974:198) dalam otobiografinya menggambarkan pemuda yang berambut gondrong dengan gayanya yang urakan sebagai kekuatan revolusi di Yogyakarta pada awal tahun 1946.
Walaupun pernah menjadi simbol dari pemuda revolusioner, tetapi Soekarno pernah dibuat “kesel” dengan gaya rambut gondrong ini, terutama saat perjuangan melawan kebudayaan imperialis sedang memuncak. Karena rambut gondrong semakin identik dengan “lifestyle” pemuda-pemuda barat, maka Soekarno pun pernah memberi cap kepada mereka sebagai “kontra-revolusioner”.
Setelah memasuki era rejim Soeharto, rambut gondrong semakin ditindas dan divonis sebagai gaya yang bertentangan dengan kepribadian bangsa. Pangkopkamtib Jenderal Sumitro telah berkata, bahwa rambut gondrong membuat pemuda onverschillig, acuh tak acuh. Alhasil, sebagai pelaksanaan petuah dari petinggi militer, gerakan anti-gondrong pun mulai dikampanyekan di segala lini kehidupan.
Di sejumlah perguruan tinggi, para pimpinan Universitas sudah menyarankan mahasiswanya untuk tidak gondrong, dan kalau tetap memilih gaya tersebut, mereka dipersilahkan memilih pindah ke kampus lain yang menerima gondrong. Di Sumatera Utara, oleh gubernur saat itu, Marah Halim, telah dibentuk “”Badan Koordinator Pemberantasan Rambut Gondrong”—disingkat BAKORPRAGON, yang tugasnya adalah melakukan operasi dan menangkap mereka yang berambut gondrong.
Karena lama-kelamaan gerakan anti-gondrong ini semakin pukul rata, maka para seniman pun terkena getahnya, misalnya Sophan Sophiaan, Broery Marantika, Trio Bimbo, W.S. Rendra, Umar Kayam Affandi, Achmad Akbar, Remmy Silado, Ireng, Taufiq Ismail, dan lain sebagainya.
Di gerakan mahasiswa, yang semakin “kesal” dengan sikap Soeharto dalam membabat korupsi, rambut gondrong telah dijadikan sebagai salah satu bentuk perlawanan. Ketika pemerintah melakukan razia anti-gondrong, berbagai elemen gerakan mahasiswa di Bandung menggelar razia anti-orang gendut, sebuah bentuk ekspresi kekecewaan terhadap maraknya pejabat yang korup.
Salah satu peristiwa yang memicu perlawanan terbuka mahasiswa versus militer adalah terbunuhnya Rene Louis Conrad, mahasiswa elektro di ITB, tewas dibunuh secara mengenaskan akibat dikeroyok oleh taruna Akpol. Sesaat sebelum pengeroyokan, mahasiswa ITB melakukan pertandingan persahabatan dengan taruna Akpol, namun berakhir dengan tawuran massal karena ledek-ledekan kedua pihak.
Mahasiswa dan pelajar se-Bandung mengecam peristiwa terbunuhnya Rene Conrad. Sebagai bentuk solidaritas terhadap Rene dan mahasiswa ITB, sedikitnya 50.000 orang berpartisipasi dalam demonstrasi mengecam kejadian itu.
Walaupun dapat dikatakan bahwa rambut gondrong sangat dipengaruhi oleh gerakan hippies dan perkembangan musik Rock saat itu, namun kita juga harus melihat faktor ekonomi dan korupsi sangat berpengaruh besar dalam memicu keresahan mahasiswa saat itu. Boleh dikatakan, bahwa “pilihan rambut gondrong telah menandai perpisahan antara gerakan mahasiswa dan orde baru/militer.”
Begitulah, hingga gerakan mahasiswa tahun 1998 yang berhasil menjatuhkan Soeharto, aktivis mahasiswa banyak sekali yang berambut gondrong. Ketika saya menginjakkan kaki pertama kali di Universitas, aksi protes di depan kampus dipimpin dan diramaikan oleh mahasiswa berambut gondrong.
Sekarang ini, seiring dengan menyusutnya gerakan mahasiswa di berbagai kampus dan pengaruh kuat “lifestyle” baru dari luar, mahasiswa berambut gondrong mulai berkurang pula. Kalaupun ada yang masih berambut panjang, tapi bukan lagi “gaya gondrong” ala mahasiswa tahun 1980-1990-an.
Namun demikian, ini tidak berarti bahwa mahasiswa yang bangkit melawan dan menjadi aktivis harus berambut gondrong, tidak harus dan tidak perlu begitu. Kalau kita melihat dari gambaran historisnya, rambut “gondrong” telah menjadi gaya yang dimusuhi penguasa dan diasosiasikan dengan “penentang” atau kegiatan subversif. Tidak mengherankan pula, sebagian aktivis mahasiswa telah memilih “berambut gondrong”sebagai pilihan untuk menunjukkan perlawanan dan kritik.
Dari uraian di atas, baik secara historis maupun secara sosial, “gaya rambut” puya dimensi yang sangat luas, tidak sekedar “mahkota” di kepala. Tidak hanya gondrong, tapi ada banyak gaya lain untuk menunjukkan identitasi atau bahkan perlawanan, misalnya gaya rambut “Mohawk” yang menjadi identitas perlawanan punk hari ini, diambil dari kisah perjuangan kaum Indian. “rambut tidak sekedar mahkota anda, tapi boleh jadi menjelaskan pendirian politik anda.”
Penulis adalah anggota Redaksi Berdikari Online dan Staff Kajian dan Bacaan KPP-PRD.
Sumber:
1. F.C. Fanggidaej, Sekelumit Pengalaman Pada Masa Revolusi Agustus 1945-194, PPI Belanda.
2. –; Peristiwa Rene Conrad-Mahasisw ITB Tahun 1970, http://hanyaadadiindonesiasaja.blogs...asisw-itb.html
3. Aria Wiratma Yudhistira, Rambut Dan Sejarah Indonesia, terbitan KUNCI edisi 16 April 2007
Sumber Artikel: http://www.berdikarionline.com
Selasa, 18 Februari 2014
MENGAPA HEWAN HARUS DI SEMBELIH
Bismillahirrohmanirrohiim
Mengapa Hewan Harus Disembelih? Ini Penjelasan Yusuf
Qardhawi dan Hasil Penelitian EEG-ECG
EEG - ilustrasi penelitian penyembelihan hewan
Islam mensyariatkan binatang ternak seperti sapi, kambing, dan unta harus disembelih agar halal dikonsumsi. Sementara akhir-akhir ini, beberapa negara Eropa termasuk Denmark melarang penyembelihan tanpa dibius, dengan alasan agar tidak menyakiti hewan.
Mengapa Islam mensyariatkan penyembelihan, bukan cara lain seperti mencekik, menembak atau membiusnya terlebih dahulu? Berikut hikmahnya menurut Syaikh DR Yusuf Qardhawi dan penelitian Hannover University dengan menggunakan Electro-Encephalograph (EEG) dan Electro Cardiograph (ECG):
Rahasia Penyembelihan dan Hikmahnya
Syaikh DR Yusuf Qardhawi dalam buku Halal dan Haram dalam Islam menjelaskan rahasia penyembelihan dan hikmahnya sebagai berikut:
Rahasia penyembelihan ini, menurut yang kami ketahui, adalah untuk melepaskan nyawa binatang dengan jalan yang paling cepat dan mudah, sehingga meringankan dan tidak menyakiti. Untuk itu maka disyaratkan alat yang dipakai harus tajam supaya lebih cepat.
Di samping itu dipersyaratkan juga, bahwa penyembelihan itu harus dilakukan pada leher, karena leher merupakan tempat yang lebih dekat untuk memisahkan kehidupan dengan mudah.
Rasulullah melarang menyembelih binatang dengan gigi dan kuku, karena penyembelihan semacam itu menyakiti binatang. Pada umumnya alat-alat tersebut hanya bersifat mencekik.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan untuk menajamkan pisau dan memudahkan penyembelihan. Beliau bersabda:
إِنَّ اللَّهَ كَتَبَ الإِحْسَانَ عَلَى كُلِّ شَىْءٍ فَإِذَا قَتَلْتُمْ فَأَحْسِنُوا الْقِتْلَةَ وَإِذَا ذَبَحْتُمْ فَأَحْسِنُوا الذَّبْحَ وَلْيُحِدَّ أَحَدُكُمْ شَفْرَتَهُ فَلْيُرِحْ ذَبِيحَتَهُ
"Sesungguhnya Allah mewajibkan untuk berbuat baik kepada segala sesuatu. Oleh karena itu jika kamu membunuh, maka perbaikilah cara membunuhnya. Apabila kamu menyembelih maka perbaikilah cara menyembelihnya; tajamkanlah pisaunya serta mudahkanlah sembelihannya." (HR. Muslim)
Di antara tindakan yang baik adalah seperti apa yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar, bahwa Rasulullah memerintahkan menajamkan pisau dan tidak memperlihatkan proses penyembelihan kepada binatang-binatang lainnya yang akan disembelih. Beliau bersabda:
إِذَا ذَبَحَ أَحَدُكُمْ فَلْيُجْهِزْ
"Apabila salah seorang di antara kamu menyembelih, lakukanlah dengan cepat." (HR. Ibnu Majah)
Diriwayatkan oleh Ibnu Abbas, bahwa ada seorang laki-laki membaringkan seekor kambing sambil mengasah pisaunya, maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
أتريد أن تميتها موتات هلا حددت شفرتك قبل أن تضجعها
"Apakah engkau akan mematikannya beberapa kali? Mengapa tidak engkau asah pisaumu itu sebelum binatang tersebut engkau baringkan?" (HR. Hakim)
Umar Ibnul Khattab pernah juga melihat seorang laki-laki yang mengikat kaki seekor kambing dan diseretnya untuk disembelih, maka ia memperingatkan: “Celaka engkau! Giringlah dia kepada kematian dengan suatu cara yang baik.' (HR. Abdurrazzaq).
Hasil Penelitian dengan EEG-ECG
Situs resmi Universitas Airlangga, unair.ac.id, melansir hasil penelitian Hannover University dengan judul Penyembelihan Sapi dengan Stunning vs non Stunning sebagai berikut:
Disebutkan dua staf ahli peternakan dari Hannover University, sebuah universitas terkemuka di Jerman, yaitu Prof Dr Schultz dan koleganya Dr Hazim memimpin penelitian mengenai manakah yang lebih baik dan paling tidak sakit, penyembelihan secara Syariat Islam yang murni (tanpa proses pemingsanan) ataukah penyembelihan dengan cara Barat (dengan pemingsanan)?
Keduanya merancang penelitian sangat canggih, mempergunakan sekelompok sapi yang telah cukup umur (dewasa). Pada permukaan otak kecil sapi-sapi itu dipasang elektroda (microchip) yang disebut Electro-Encephalograph (EEG). Microchip EEG dipasang di permukaan otak yang menyentuh titik (panel) rasa sakit di permukaan otak, untuk merekam dan mencatat derajat rasa sakit sapi ketika disembelih.
Di jantung sapi-sapi itu juga dipasang Electro Cardiograph (ECG) untuk merekam aktivitas jantung saat darah keluar karena disembelih. Untuk menekan kesalahan, sapi dibiarkan beradaptasi dengan EEG maupun ECG yang telah terpasang di tubuhnya selama beberapa minggu.
Setelah masa adaptasi dianggap cukup, maka separuh sapi disembelih sesuai dengan Syariat Islam yang murni, dan separuh sisanya disembelih dengan menggunakan metode pemingsanan yang diadopsi Barat.
Dalam Syariat Islam, penyembelihan dilakukan dengan menggunakan pisau yang tajam, dengan memotong tiga saluran pada leher bagian depan, yakni saluran makanan, saluran nafas serta dua saluran pembuluh darah, yaitu arteri karotis dan vena jugularis.
Selama penelitian, EEG dan ECG pada seluruh ternak sapi itu dicatat untuk merekam dan mengetahui keadaan otak dan jantung sejak sebelum pemingsanan (atau penyembelihan) hingga ternak itu benar-benar mati.
Dari hasil penelitian yang dilakukan dan dilaporkan oleh Prof Schultz dan Dr Hazim di Hannover University Jerman itu dapat diperoleh kesimpulan sebagai berikut:
Penyembelihan menurut Syariat Islam
Hasil penelitian dengan menerapkan praktik penyembelihan menurut Syariat Islam menunjukkan:
Pertama, pada 3 detik pertama setelah ternak disembelih (dan ketiga saluran pada leher sapi bagian depan terputus), tercatat tidak ada perubahan pada grafik EEG. Hal ini berarti bahwa pada 3 detik pertama setelah disembelih itu, tidak ada indikasi rasa sakit.
Kedua, pada 3 detik berikutnya, EEG pada otak kecil merekam adanya penurunan grafik secara bertahap yang sangat mirip dengan kejadian deep sleep (tidur nyenyak) hingga sapi-sapi itu benar-benar kehilangan kesadaran. Pada saat tersebut, tercatat pula oleh ECG bahwa jantung mulai meningkat aktivitasnya.
Ketiga, setelah 6 detik pertama itu, ECG pada jantung merekam adanya aktivitas luar biasa dari jantung untuk menarik sebanyak mungkin darah dari seluruh anggota tubuh dan memompanya keluar. Hal ini merupakan refleksi gerakan koordinasi antara jantung dan sumsum tulang belakang (spinal cord). Pada saat darah keluar melalui ketiga saluran yang terputus di bagian leher tersebut, grafik EEG tidak naik, tapi justru drop (turun) sampai ke zero level (angka nol). Hal ini diterjemahkan oleh kedua peneliti ahli itu bahwa: "No feeling of pain at all!" (tidak ada rasa sakit sama sekali).
Keempat, karena darah tertarik dan terpompa oleh jantung keluar tubuh secara maksimal, maka dihasilkan healthy meat (daging yang sehat) yang layak dikonsumsi bagi manusia. Jenis daging dari hasil sembelihan semacam ini sangat sesuai dengan prinsip Good Manufacturing Practise (GMP) yang menghasilkan Healthy Food.
Penyembelihan dengan cara Dipingsankan
Pertama, segera setelah dilakukan proses stunning (pemingsanan), sapi terhuyung jatuh dan roboh. Setelah itu, sapi tidak bergerak-gerak lagi, sehingga mudah dikendalikan. Oleh karena itu, sapi dapat pula dengan mudah disembelih tanpa meronta-ronta, dan tampaknya tanpa mengalami rasa sakit. Pada saat disembelih, darah yang keluar hanya sedikit, tidak sebanyak bila disembelih tanpa proses stunning (pemingsanan).
Kedua, segera setelah proses pemingsanan, tercatat adanya kenaikan yang sangat nyata pada grafik EEG. Hal itu mengindikasikan adanya tekanan rasa sakit yang diderita oleh ternak (karena kepalanya dipukul, sampai jatuh pingsan).
Ketiga, grafik EEG meningkat sangat tajam dengan kombinasi grafik ECG yang drop ke batas paling bawah. Hal ini mengindikasikan adanya peningkatan rasa sakit yang luar biasa, sehingga jantung berhenti berdetak lebih awal. Akibatnya, jantung kehilangan kemampuannya untuk menarik dari dari seluruh organ tubuh, serta tidak lagi mampu memompanya keluar dari tubuh.
Keempat, karena darah tidak tertarik dan tidak terpompa keluar tubuh secara maksimal, maka darah itu pun membeku di dalam urat-urat darah dan daging, sehingga dihasilkan unhealthy meat (daging yang tidak sehat), yang dengan demikian menjadi tidak layak untuk dikonsumsi oleh manusia.
Disebutkan dalam khazanah ilmu dan teknologi daging, bahwa timbunan darah beku (yang tidak keluar saat ternak mati/disembelih) merupakan tempat atau media yang sangat baik bagi tumbuh-kembangnya bakteri pembusuk, yang merupakan agen utama merusak kualitas daging.
Hasil penelitian Prof Schultz dan Dr Hazim juga membuktikan pisau tajam yang mengiris leher ternyata tidaklah “menyentuh” saraf rasa sakit. Oleh karenanya kedua peneliti ahli itu menyimpulkan bahwa sapi meronta-ronta dan meregangkan otot bukanlah sebagai ekspresi rasa sakit, melainkan sebagai ekspresi keterkejutan otot dan saraf saja yaitu pada saat darah mengalir keluar dengan deras.
Mengapa demikian? Hal ini tentu tidak terlalu sulit untuk dijelaskan, karena grafik EEG tidak membuktikan juga tidak menunjukkan adanya rasa sakit itu.
Subhanallah... demikianlah hikmah dan rahasia mengapa Islam mensyariatkan penyembelihan hewan. Wallahu a’lam bish shawab.
EEG - ilustrasi penelitian penyembelihan hewan
Islam mensyariatkan binatang ternak seperti sapi, kambing, dan unta harus disembelih agar halal dikonsumsi. Sementara akhir-akhir ini, beberapa negara Eropa termasuk Denmark melarang penyembelihan tanpa dibius, dengan alasan agar tidak menyakiti hewan.
Mengapa Islam mensyariatkan penyembelihan, bukan cara lain seperti mencekik, menembak atau membiusnya terlebih dahulu? Berikut hikmahnya menurut Syaikh DR Yusuf Qardhawi dan penelitian Hannover University dengan menggunakan Electro-Encephalograph (EEG) dan Electro Cardiograph (ECG):
Rahasia Penyembelihan dan Hikmahnya
Syaikh DR Yusuf Qardhawi dalam buku Halal dan Haram dalam Islam menjelaskan rahasia penyembelihan dan hikmahnya sebagai berikut:
Rahasia penyembelihan ini, menurut yang kami ketahui, adalah untuk melepaskan nyawa binatang dengan jalan yang paling cepat dan mudah, sehingga meringankan dan tidak menyakiti. Untuk itu maka disyaratkan alat yang dipakai harus tajam supaya lebih cepat.
Di samping itu dipersyaratkan juga, bahwa penyembelihan itu harus dilakukan pada leher, karena leher merupakan tempat yang lebih dekat untuk memisahkan kehidupan dengan mudah.
Rasulullah melarang menyembelih binatang dengan gigi dan kuku, karena penyembelihan semacam itu menyakiti binatang. Pada umumnya alat-alat tersebut hanya bersifat mencekik.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan untuk menajamkan pisau dan memudahkan penyembelihan. Beliau bersabda:
إِنَّ اللَّهَ كَتَبَ الإِحْسَانَ عَلَى كُلِّ شَىْءٍ فَإِذَا قَتَلْتُمْ فَأَحْسِنُوا الْقِتْلَةَ وَإِذَا ذَبَحْتُمْ فَأَحْسِنُوا الذَّبْحَ وَلْيُحِدَّ أَحَدُكُمْ شَفْرَتَهُ فَلْيُرِحْ ذَبِيحَتَهُ
"Sesungguhnya Allah mewajibkan untuk berbuat baik kepada segala sesuatu. Oleh karena itu jika kamu membunuh, maka perbaikilah cara membunuhnya. Apabila kamu menyembelih maka perbaikilah cara menyembelihnya; tajamkanlah pisaunya serta mudahkanlah sembelihannya." (HR. Muslim)
Di antara tindakan yang baik adalah seperti apa yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar, bahwa Rasulullah memerintahkan menajamkan pisau dan tidak memperlihatkan proses penyembelihan kepada binatang-binatang lainnya yang akan disembelih. Beliau bersabda:
إِذَا ذَبَحَ أَحَدُكُمْ فَلْيُجْهِزْ
"Apabila salah seorang di antara kamu menyembelih, lakukanlah dengan cepat." (HR. Ibnu Majah)
Diriwayatkan oleh Ibnu Abbas, bahwa ada seorang laki-laki membaringkan seekor kambing sambil mengasah pisaunya, maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
أتريد أن تميتها موتات هلا حددت شفرتك قبل أن تضجعها
"Apakah engkau akan mematikannya beberapa kali? Mengapa tidak engkau asah pisaumu itu sebelum binatang tersebut engkau baringkan?" (HR. Hakim)
Umar Ibnul Khattab pernah juga melihat seorang laki-laki yang mengikat kaki seekor kambing dan diseretnya untuk disembelih, maka ia memperingatkan: “Celaka engkau! Giringlah dia kepada kematian dengan suatu cara yang baik.' (HR. Abdurrazzaq).
Hasil Penelitian dengan EEG-ECG
Situs resmi Universitas Airlangga, unair.ac.id, melansir hasil penelitian Hannover University dengan judul Penyembelihan Sapi dengan Stunning vs non Stunning sebagai berikut:
Disebutkan dua staf ahli peternakan dari Hannover University, sebuah universitas terkemuka di Jerman, yaitu Prof Dr Schultz dan koleganya Dr Hazim memimpin penelitian mengenai manakah yang lebih baik dan paling tidak sakit, penyembelihan secara Syariat Islam yang murni (tanpa proses pemingsanan) ataukah penyembelihan dengan cara Barat (dengan pemingsanan)?
Keduanya merancang penelitian sangat canggih, mempergunakan sekelompok sapi yang telah cukup umur (dewasa). Pada permukaan otak kecil sapi-sapi itu dipasang elektroda (microchip) yang disebut Electro-Encephalograph (EEG). Microchip EEG dipasang di permukaan otak yang menyentuh titik (panel) rasa sakit di permukaan otak, untuk merekam dan mencatat derajat rasa sakit sapi ketika disembelih.
Di jantung sapi-sapi itu juga dipasang Electro Cardiograph (ECG) untuk merekam aktivitas jantung saat darah keluar karena disembelih. Untuk menekan kesalahan, sapi dibiarkan beradaptasi dengan EEG maupun ECG yang telah terpasang di tubuhnya selama beberapa minggu.
Setelah masa adaptasi dianggap cukup, maka separuh sapi disembelih sesuai dengan Syariat Islam yang murni, dan separuh sisanya disembelih dengan menggunakan metode pemingsanan yang diadopsi Barat.
Dalam Syariat Islam, penyembelihan dilakukan dengan menggunakan pisau yang tajam, dengan memotong tiga saluran pada leher bagian depan, yakni saluran makanan, saluran nafas serta dua saluran pembuluh darah, yaitu arteri karotis dan vena jugularis.
Selama penelitian, EEG dan ECG pada seluruh ternak sapi itu dicatat untuk merekam dan mengetahui keadaan otak dan jantung sejak sebelum pemingsanan (atau penyembelihan) hingga ternak itu benar-benar mati.
Dari hasil penelitian yang dilakukan dan dilaporkan oleh Prof Schultz dan Dr Hazim di Hannover University Jerman itu dapat diperoleh kesimpulan sebagai berikut:
Penyembelihan menurut Syariat Islam
Hasil penelitian dengan menerapkan praktik penyembelihan menurut Syariat Islam menunjukkan:
Pertama, pada 3 detik pertama setelah ternak disembelih (dan ketiga saluran pada leher sapi bagian depan terputus), tercatat tidak ada perubahan pada grafik EEG. Hal ini berarti bahwa pada 3 detik pertama setelah disembelih itu, tidak ada indikasi rasa sakit.
Kedua, pada 3 detik berikutnya, EEG pada otak kecil merekam adanya penurunan grafik secara bertahap yang sangat mirip dengan kejadian deep sleep (tidur nyenyak) hingga sapi-sapi itu benar-benar kehilangan kesadaran. Pada saat tersebut, tercatat pula oleh ECG bahwa jantung mulai meningkat aktivitasnya.
Ketiga, setelah 6 detik pertama itu, ECG pada jantung merekam adanya aktivitas luar biasa dari jantung untuk menarik sebanyak mungkin darah dari seluruh anggota tubuh dan memompanya keluar. Hal ini merupakan refleksi gerakan koordinasi antara jantung dan sumsum tulang belakang (spinal cord). Pada saat darah keluar melalui ketiga saluran yang terputus di bagian leher tersebut, grafik EEG tidak naik, tapi justru drop (turun) sampai ke zero level (angka nol). Hal ini diterjemahkan oleh kedua peneliti ahli itu bahwa: "No feeling of pain at all!" (tidak ada rasa sakit sama sekali).
Keempat, karena darah tertarik dan terpompa oleh jantung keluar tubuh secara maksimal, maka dihasilkan healthy meat (daging yang sehat) yang layak dikonsumsi bagi manusia. Jenis daging dari hasil sembelihan semacam ini sangat sesuai dengan prinsip Good Manufacturing Practise (GMP) yang menghasilkan Healthy Food.
Penyembelihan dengan cara Dipingsankan
Pertama, segera setelah dilakukan proses stunning (pemingsanan), sapi terhuyung jatuh dan roboh. Setelah itu, sapi tidak bergerak-gerak lagi, sehingga mudah dikendalikan. Oleh karena itu, sapi dapat pula dengan mudah disembelih tanpa meronta-ronta, dan tampaknya tanpa mengalami rasa sakit. Pada saat disembelih, darah yang keluar hanya sedikit, tidak sebanyak bila disembelih tanpa proses stunning (pemingsanan).
Kedua, segera setelah proses pemingsanan, tercatat adanya kenaikan yang sangat nyata pada grafik EEG. Hal itu mengindikasikan adanya tekanan rasa sakit yang diderita oleh ternak (karena kepalanya dipukul, sampai jatuh pingsan).
Ketiga, grafik EEG meningkat sangat tajam dengan kombinasi grafik ECG yang drop ke batas paling bawah. Hal ini mengindikasikan adanya peningkatan rasa sakit yang luar biasa, sehingga jantung berhenti berdetak lebih awal. Akibatnya, jantung kehilangan kemampuannya untuk menarik dari dari seluruh organ tubuh, serta tidak lagi mampu memompanya keluar dari tubuh.
Keempat, karena darah tidak tertarik dan tidak terpompa keluar tubuh secara maksimal, maka darah itu pun membeku di dalam urat-urat darah dan daging, sehingga dihasilkan unhealthy meat (daging yang tidak sehat), yang dengan demikian menjadi tidak layak untuk dikonsumsi oleh manusia.
Disebutkan dalam khazanah ilmu dan teknologi daging, bahwa timbunan darah beku (yang tidak keluar saat ternak mati/disembelih) merupakan tempat atau media yang sangat baik bagi tumbuh-kembangnya bakteri pembusuk, yang merupakan agen utama merusak kualitas daging.
Hasil penelitian Prof Schultz dan Dr Hazim juga membuktikan pisau tajam yang mengiris leher ternyata tidaklah “menyentuh” saraf rasa sakit. Oleh karenanya kedua peneliti ahli itu menyimpulkan bahwa sapi meronta-ronta dan meregangkan otot bukanlah sebagai ekspresi rasa sakit, melainkan sebagai ekspresi keterkejutan otot dan saraf saja yaitu pada saat darah mengalir keluar dengan deras.
Mengapa demikian? Hal ini tentu tidak terlalu sulit untuk dijelaskan, karena grafik EEG tidak membuktikan juga tidak menunjukkan adanya rasa sakit itu.
Subhanallah... demikianlah hikmah dan rahasia mengapa Islam mensyariatkan penyembelihan hewan. Wallahu a’lam bish shawab.
Sabtu, 15 Februari 2014
UWAIS AL-QORNI
Bismillahirrohmanirrohiim
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bercerita mengenai Uwais al-Qarni tanpa pernah melihatnya. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “ seorang penduduk Yaman, daerah Qarn, dan dari kabilah Murad. Ayahnya telah meninggal. Dia hidup bersama ibunya dan dia berbakti kepadanya. Dia pernah terkena penyakit kusta. Dia berdoa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, lalu dia berdoa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, lalu dia diberi kesembuhan, tetapi masih ada bekas sebesar dirham di kedua lengannya. Sungguh, dia adalah pemimpin para tabi’in.”
Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada Umar bin al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu, “Jika kamu bisa meminta kepadanya untuk memohonkan ampun (kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala) untukmu, maka lakukanlah!”
Ketika Umar radhiyallahu ‘anhu telah menjadi Amirul Mukminin, dia bertanya kepada para jamaah haji dari Yaman di Baitullah pada musim haji, “Apakah di antara warga kalian ada yang bernama Uwais al-Qarni?” “Ada,” jawab mereka.
Umar radhiyallahu ‘anhu melanjutkan, “Bagaimana keadaannya ketika kalian meninggalkannya?”
Mereka menjawab tanpa mengetahui derajat Uwais, “Kami meninggalkannya dalam keadaan miskin harta benda dan pakaiannya usang.”
Umar radhiyallahu ‘anhu berkata kepada mereka, “Celakalah kalian. Sungguh, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bercerita tentangnya. Kalau dia bisa memohonkan ampun untuk kalian, lakukanlah!”
Dan setiap tahun Umar radhiyallahu ‘anhu selalu menanti Uwais. Dan kebetulan suatu kali dia datang bersama jemaah haji dari Yaman, lalu Umar radhiyallahu ‘anhu menemuinya. Dia hendak memastikannya terlebih dahulu, makanya dia bertanya, “Siapa namamu?”
“Uwais,” jawabnya.
Umar radhiyallahu ‘anhu melanjutkan, “Di Yaman daerah mana?’
Dia menjawab, “Dari Qarn.”
“Tepatnya dari kabilah mana?” Tanya Umar radhiyallahu ‘anhu.
Dia menjawab, “Dari kabilah Murad.”
Umar radhiyallahu ‘anhu bertanya lagi, “Bagaimana ayahmu?”
“Ayahku telah meninggal dunia. Saya hidup bersama ibuku,” jawabnya.
Umar radhiyallahu ‘anhu melanjutkan, “Bagaimana keadaanmu bersama ibumu?’
Uwais berkata, “Saya berharap dapat berbakti kepadanya.”
“Apakah engkau pernah sakit sebelumnya?” lanjut Umar radhiyallahu ‘anhu.
“Iya. Saya pernah terkena penyakit kusta, lalu saya berdoa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala sehingga saya diberi kesembuhan.”
Umar radhiyallahu ‘anhu bertanya lagi, “Apakah masih ada bekas dari penyakit tersebut?”
Dia menjawab, “Iya. Di lenganku masih ada bekas sebesar dirham.” Dia memperlihatkan lengannya kepada Umar radhiyallahu ‘anhu. Ketika Umar radhiyallahu ‘anhu melihat hal tersebut, maka dia langsung memeluknya seraya berkata, “Engkaulah orang yang diceritakan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mohonkanlah ampun kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala untukku!”
Dia berkata, “Masa saya memohonkan ampun untukmu wahai Amirul Mukminin?”
Umar radhiyallahu ‘anhu menjawab, “Iya.”
Umar radhiyallahu ‘anhu meminta dengan terus mendesak kepadanya sehingga Uwais memohonkan ampun untuknya.
Selanjutnya Umar radhiyallahu ‘anhu bertanya kepadanya mengenai ke mana arah tujuannya setelah musim haji. Dia menjawab, “Saya akan pergi ke kabilah Murad dari penduduk Yaman ke Irak.”
Umar radhiyallahu ‘anhu berkata, “Saya akan kirim surat ke walikota Irak mengenai kamu?”
Uwais berkata, “Saya bersumpah kepada Anda wahai Amriul Mukminin agar engkau tidak melakukannya. Biarkanlah saya berjalan di tengah lalu lalang banyak orang tanpa dipedulikan orang.”
Sumber: Hiburan Orang-orang Shalih, 101 Kisah Segar
Langganan:
Postingan (Atom)