Kamis, 30 Januari 2014

MAULID NABI SAW


Bismillahirrohmanirrohiim

12 Rabi’i al-Awal, adalah salah satu dari hari besar Islam. Dunia muslim menyebutnya sebagai Maulid. Maulid, Maulud, Muludan, Milad, Mevlut dan sebutan lainnya, bermakna sama: Hari Kelahiran. Tetapi kata ini selalu dihubungkan dengan kelahiran Nabi Muhammad Saw. Kaum mulim di seluruh dunia memperingatinya dengan gegap-gempita dan dengan penuh kegembiraan.

Para sejarawan mencatat: Muhammad putra Aminah dan Abdullah, lahir Senin, 12 Rabi’ al awwal, atau 20 April 571 M, di rumah Abd al-Muthallib (kakeknya). Kelahirannya berbarengan dengan rencana Abrahah, gubernur Abyssinia, Etiopia, beserta pasukan gajahnya melakukan agresi militer ke Makkah guna memindahkan Ka’bah. Orang lalu mengenang kelahiran Nabi sebagai Tahun Gajah. Kelahiran orang besar ini dibidani oleh Al-Syifa, ibunda Abd al Rahman bin ‘Auf. Ayahnya; Abd Allah, tak hadir saat yang membahagiakan itu. Ia telah wafat, di Madinah, ketika janin Muhammad berusia 2 bulan dalam kandungan ibunya. Bayi yang kemudian lahir diberi nama Muhammad. Nama yang belum dipakai orang zaman itu: Ketika ditanya mengapa nama itu, dan tidak gunakan nama nenek-moyang, Abd al-Muthallib, menjawab : “Kuingin dia akan menjadi orang yang terpuji bagi makhluk Tuhan di langit dan di bumi”. Ia disusui pertama kali oleh Tsuwaibah, sahaya perempuan pamannya; Abu Lahab dan kemudian Halimah al-Sa’diyyah untuk masa berikutnya. Aminah mengasuhnya sampai usia Muhammad (saw) 6 tahun. Ia wafat di Abwa, sebuah desa antara Makkah dan Madinah, dalam perjalanan pulang dari ziarah ke makam paman-pamannya di Madinah. Pengasuhan selanjutnya dipercayakan kepada Umm Ayman, sahaya perempuan dari Etiopia. Muhammad (saw) menjadi yatim piatu.

Tradisi Maulid
Di Indonesia, perayaan maulid Nabi diselenggarakan di surau-surau, masjid-masjid, majelis-majelis ta’lim, di pondok-pondok pesantren dan di berbagai lembaga social, keagamaan bahkan instansi-instansi pemerintahan. Tradisi peringatan Maulid, di Cirebon biasa disebut Muludan, paling megah dan dihadiri ratusan ribu orang diadakan di Kraton-Kraton di Jawa dan luar Jawa, terutama Yogya dan Cirebon. Ia diadakan pada setiap malam 12 Rabi’l Awal. Masyarakat muslim merayakannya dengan beragam cara dan dengan sejumlah acara seremoni dan kemeriahan yang menggairahkan. Malam hari tanggal 12 Maulid merupakan puncak acara seremonial yang ditunggu-tunggu dengan penuh minat. Biasanya mereka mengundang penceramah untuk bicara sejarah Nabi. Mereka, secara bergantian, juga membaca Sirah Nabawiyah (sejarah hidup Nabi sejak kelahiran sampai wafatnya), dalam bentuk narasi prosais kadang-kadang dengan irama yang khas. Sebagian lagi sejarah Nabi tersebut dikemas dalam bentuk puisi-puisi yang berisi perjalanan hidup Nabi sejak lahir sampai wafat, dan madah-madah (pujian-pujian) atas Nabi. Salah satu puisi maulid Nabi saw ditulis oleh Syeikh Barzanji.

Peringatan Maulid Nabi di Indonesia ditetapkan sebagai hari Libur Nasional ketika K.H. Abdul Wahid Hasyim, ayah Gus Dur, menjabat sebagai Menteri Agama. Upacara peringatan pemerintah ini pada awalnya diadakan di Istana negara. Tetapi entah sejak kapan kemudian dipindahkan tempatnya, di Masjid Istiqlal. Pada momen tradisi keagamaan ini, Presiden, wakil presiden, para pejabat tinggi Negara dan para duta besar Negara-negara sahabat hadir bersama ribuan umat Islam.
Di Turki, seminggu menjelang Maulid, masjid-masjid dihiasi dengan lampu-lampu dan lampion-lampion warna warni. Halaman rumah penduduk dibersihkan dan dicat. Di Mesir masa lampau, “para penguasa Mamluk”, cerita Annemarie Schimmel, dalam buknya yang menarik Muhammad Utusan Allah, “perayaan besar-besaran untuk memperingati Maulud diselenggarakan di pelataran benteng Kairo. Ruas-ruas jalan penuh sesak oleh manusia”. Di sebagian negara berpenduduk besar muslim, hari itu diperingati dengan menyalakan obor di jalan-jalan sambil pawai mengelilingi kota. Masyarakat di sebagian Negara Islam membuat makanan untuk dibagikan kepada fakir miskin. Selain Indonesia, Mesir dan Turki, peringatan Maulid Nabi juga diselenggarakan di Syria, Lebanon, Yordania, Palestina, Iraq, Kuwait, Uni Emirat Arab, Sudan, Yaman, Libya, Tunisia, Al Jazair, Maroko, Mauritania, Djibouti, Somalia, Turki, Pakistan, India, Sri Lanka, Iran, Afghanistan, Azerbaidjan, Uzbekistan, Turkistan, Bosnia, Malaysia, Brunei, Singapura, dan kebanyakan Negara islam yang lain. Seperti di Indonesia, di banyak Negara tersebut hari Maulid Nabi Saw merupakan hari libur umum/nasional.

Berbeda dengan pandangan mayoritas besar kaum muslimin di dunia, Ibnu Taimiyah, tokoh Islam paling ortodoks, memandang perayaan Maulid Nabi sebagai bid'ah. Pandangan ini kemudian diteruskan dengan semangat Islam yang radikal oleh Muhammad bin Abdul Wahab, ulama terkemuka kelahiran Nejd, Saudi Arabia, 1703-1791. Para pengikutnya popular disebut Wahabi. Saudi Arabia mungkin satu-satunya Negara Islam yang anti memperingati Maulid Nabi dan menyerang dan mengecam kelompok muslim lain yang merayakannya. Para pengikutnya terus menyebarkan ajaran bahwa "maulid Nabi sebagai praktik keagamaan yang sesat". Pandangan ini ditolak diseluruh dunia muslim. 

Wallahu a`lam

Selasa, 28 Januari 2014

ALLAH MENUTUP AIB HAMBANYA YANG BERTAUBAT


Bismillahirrohmairrohiim

Mungkin seseorang tidaklah terbongkar aibnya pada saat pertama kali melakukan dosa, karena Allah menutupi aib-aib hambaNya.
Allah akan menundanya dan membiarkannya serta memberikan kesempatan kepadanya untuk sadar dan bertaubat.
Karenanya jika engkau melihat ada seseorang telah dibongkar aibnya dan dipermalukan oleh Allah dihadapan khalayak maka ketahuilah… ia telah berdosa…lalu berdosa lagi dengan dosa yang sama…lalu berdosa kembali... Hingga suatu saat akhirnya Allahpun membongkarnya dan mempermalukannya.

Karenanya wahai diri... Janganlah kita terpedaya tatkala kita bermaksiat lantas kita tidak ketahuan melakukannya… memang benar saat ini kita tidak ketahuan…Allah masih memberi kesempatan kepada kita…akan tetapi siapakah yang menjamin bahwasanya suatu saat aib dan dosa yang kita sembunyikan ini tidak akan terbongkar...???

Maka waspadalah dan bertaubatlah kepada Allah sebelum kita dipermalukan di dunia, sebelum dipermalukan di akhirat...

Yaa Allah ampuni hamba-hambaMu ini… tutupilah dan sembunyikanlah aib dan dosa-dosa kami…

Ampuni kesalahan kami.... Kami bertaubat padaMu yaa Rabb...
Aamiin...

Wallahu a`lam

Minggu, 26 Januari 2014

SANKSI SIKSA PELAKU ZINA DAN ONANI


Bismillahirrohmanirrohiim

Waspadailah oleh kalian perbuatan zina, karena dalam zina terdapat 6 macam sanksi, tiga macam diantaranya terdapat di dunia dan tiga macam lainnya di akhirat kelak. Adapun tiga macam sanksi siksa di dunia ialah

(1) Perbuaatn zina itu akan mengurangi rezeki serta menghilangkan keberkahan,

(2) Apabila ruhnya keluar saat ajal tiba maka ia terhalang dari rahmat Allah SWT

(3) Akan diperlihatkan ke api neraka dan malaikat galak dan
bengis yang namanya Zabaniyyah.

Adapun tiga macam sanksi siksa di akhirat ialah

(1) Allah akan memandangnya dengan murka sehingga wajahnya
menjadi hitam kelam

(2) Hisab amalnya sangat berat dan dahsyat

(3) Dia akan digusur memakai rantai menuju api neraka. (Sabda Nabi SAW, Al- Hadits)

sumber kitab:Tanqihul-Qaul Al-Imam Jalaludin Asysuyuti

Diantara yang termasuk zina ialah, disamping zina kelamin, ialah zina dengan tangan sendiri alias onani, baik bagi lelaki ataupun perempuan, termasuk zina ialah memperlihatkan aurat di
hadapan bukan muhrim, sekalipun hanya berupa photo saja. Seperti perempuan yang mengumbar aurat rambut, atau aurat bagian tubuh lainnya, apalagi mengumbar paha dan payudara dalam album facebook.

Saudaraku.., Mari kita benahi diri kita untuk bisa berbuat lebih baik, dan kendalikan nafsu yang buruk menjadi hal yang positif.. tetaplah merapat ke kawasan majelis ilmu.. agar langkah dalam hidup ini masih tetap terkontrol dan terkendali, sehingga ketika ada kekhilafan masih bisa introfeksi yang pada akhirnya akan menemukan sadar untuk segera kembali bertaubat. Semoga ALLAH mengampuni semua dosa dan kesalahan yang kita lakukan. Aamiin

Wallahu a`lam

Jumat, 24 Januari 2014

PERISTIWA PERANG BADAR


Bismillahirrohmanirrohiim

Sejak Perang Badar, pihak Quraisy tidak pernah tenang  lagi. Lebih-lebih karena  kesatuan Zaid bin Haritsah telah berhasil mengambil alih jalur perdagangan mereka ketika hendak pergi ke Syam melalui jalan Irak.

Orang-orang Quraisy kemudian sepakat menyiapkan angkatan perang guna memerangi Muhammad, dengan memperbesar jumlah dan perlengkapannya. Selanjutnya tenaga kabilah-kabilah akan dikerahkan dan agar ikut serta bersama mereka, menuntut balas terhadap kaum Muslimin. Tak hanya kaum pria, pihak Quraisy juga membawa pula kaum wanita mereka, dipimpin oleh Hindun, istri Abu Sufyan.



Hindun adalah sosok yang paling ingin membalas dendam, karena dalam peristiwa  Badar itu, ayahnya, saudaranya dan orang-orang yang dicintainya tewas terbunuh.  Keberangkatan Quraisy dengan tujuan Madinah yang disiapkan dari Dar An-Nadwa itu terdiri dan tigabrigade.

Brigade terbesar dipimpin oleh Talhah bin Abi Talhah terdiri dari 3.000 orang. Kecuali 100 orang saja dari Tsaqif, selebihnya dari Makkah, termasuk pemuka-pemuka, sekutu-sekutu serta golongan Ahabisynya. Perlengkapan dan senjata yang mereka bawa tidak sedikit, dengan 200 pasukan berkuda dan 3.000 unta, di antaranya 700 orang berbaju besi.

Sementara itu, Abbas bin Abdul Muthalib, paman Nabi, yang juga berada di tengah-tengah mereka, dengan teliti dan seksama memerhatikan semua kejadian itu. Di samping kesayangannya pada agama nenek-moyangnya dan golongannya, Abbas juga  mempunyai rasa solider dan sangat mengagumi Muhammad.

Hal inilah yang mendorongnya—tatkala diketahuinya keputusan Quraisy akan berangkat dengan kekuatan yang begitu besar—menulis surat menggambarkan segala  tindakan, persiapan dan perlengkapan mereka. Surat itu diserahkannya kepada seseorang dari kabilah Ghifar supaya disampaikan kepada Nabi. Dan orang ini pun sampai di Madinah dalam tiga hari, dan surat itu pun diserahkan kepada Rasulullah.

Pasukan Quraisy pun berangkat dan sampai di Abwa'. Ketika melalui makam Aminah binti  Wahab—ibunda Rasulullah SAW—timbul kedengkian beberapa orang yang berpikiran picik. Terpikir oleh mereka akan membongkarnya. Tetapi pemuka-pemuka mereka menolak perbuatan itu agar kelak tidak menjadi kebiasaan Arab. "Jangan menyebut-nyebut soal ini. Kalau ini kita lakukan, Bani Bakar dan Bani Khuza'ah akan membongkar juga kuburan mayat-mayat kita," kata mereka.

Quraisy  meneruskan  perjalanan  sampai  di  'Aqiq,  kemudian mereka berhenti di kaki gunung Uhud, dalam jarak lima mil dari Madinah.

Orang dari Ghifar yang diutus oleh Abbas bin Abdul Muthalib telah sampai di Madinah. Ia kemudian menyerahkan surat tersebut kepara Rasulullah, yang kemudian dibacakan oleh Ubay bin Ka'ab. Rasulullah meminta isi surat itu dirahasiakan, dan sang utusan kembali ke Madinah langsung menemui Sa'ad ibnu Al-Rabi' di rumahnya. Diceritakannya apa yang telah disampaikan Abbas kepadanya dan ia juga meminta supaya hal itu dirahasiakan. Akan tetapi istri Sa'ad yang sedang berada dalam rumah waktu itu, mendengar juga percakapan  mereka. Dengan demikian, sudah tentu  hal itu bukan rahasia lagi.

Dua orang anak-anak Fudzala, yaitu Anas dan Mu'nis, oleh Muhammad ditugaskan  menyelidiki keadaan Quraisy. Menurut pengamatan mereka, ternyata Quraisy sudah  mendekati Madinah. Kuda dan unta mereka dilepaskan di padang rumput sekeliling Madinah. Di samping dua orang itu, Rasulullah juga mengutus Hubab ibnu Al-Mundhir bin Al-Jamuh.

Setelah keadaan mereka itu disampaikan kepadanya seperti dikabarkan oleh Abbas, Nabi SAW sangat terkejut. Ketika kemudian Salamah bin Salamah keluar, ia melihat barisan depan pasukan kuda Quraisy sudah mendekati Madinah, bahkan sudah hampir memasuki kota. Salamah segera kembali dan menyampaikan apa yang dilihatnya kepada warga Madinah.

Pihak Aus dan Khazraj, begitu juga semua  penduduk Madinah merasa khawatir sekali akan akibat serbuan  ini, yang dalam sejarah perang, Quraisy belum pernah mengadakan persiapan sebaik itu. Pemuka-pemuka Muslimin di Madinah malam itu berjaga-jaga dengan senjata di masjid untuk menjaga keselamatan Nabi. Sepanjang malam itu seluruh kota dijaga ketat.

Keesokan harinya, orang-orang terkemuka dari kalangan Muslimin dan mereka yang pura-pura Islam—kaum munafik seperti disebutkan dan dilukiskan pula oleh Al-Qur'an—oleh Nabi diminta berkumpul untuk bermusyawarah. Nabi SAW berpendapat akan tetap bertahan dalam kota dan membiarkan Quraisy di luar kota.  Apabila mereka mencoba menyerbu masuk kota, maka penduduk kota ini akan lebih  mampu menangkis dan mengalahkan mereka.

Abdullah bin Ubay bin Salul mendukung pendapat Nabi itu. Para sahabat Rasulullah—baik Muhajirin ataupun Anshar—juga sependapat dengan Rasulullah. Akan tetapi pemuda-pemuda yang bersemangat yang belum mengalami Perang Badar, juga orang-orang yang pernah ikut Perang Badar—dan mendapat kemenangan disertai hati yang penuh iman, bahwa tak ada sesuatu kekuatan yang dapat  mengalahkan  mereka—lebih suka keluar menyongsong musuh di tempat mereka berada.

Pendapat ini mendapat dukungan luas. Mereka semua mengatakan bahwa bila Tuhan  memberikan kemenangan kepada mereka atas musuh, itulah yang mereka harapkan. Dan itu pula kebenaran yang telah dijanjikan Allah kepada Rasul-Nya. Kalaupun  mereka mengalami kekalahan dan mati syahid, mereka akan mendapat surga. Kata-kata yang menanamkan semangat keberanian dan mati syahid ini, sangat menggetarkan hati mereka.

Setelah jelas bahwa suara terbanyak ada pada pihak yang mau menyerang dan menghadapi musuh di luar kota, Rasulullah berkata kepada mereka, "Saya khawatir kalian akan kalah."

Tetapi mereka tetap ngotot ingin menyerbu. Tak ada jalan lain, Rasulullah pun mengikuti pendapat mereka. Cara musyawarah ini sudah menjadi undang-undang dalam kehidupan beliau. Dalam menyikapi tiap masalah, beliau tidak mau bertindak sendiri, kecuali yang sudah diwahyukan Allah kepadanya.

Apabila suatu masalah yang dibahas telah diterima dengan suara terbanyak, maka hal itu tak dapat dibatalkan oleh sesuatu keinginan atau karena ada maksud-maksud tertentu. Sebaliknya ia harus dilaksanakan, tapi orang yang akan melaksanakannya harus pula dengan cara yang sebaik-baiknya dan diarahkan ke suatu sasaran yang yang akan mencapai sukses.

Dan Muhammad SAW berangkat memimpin kaum Muslimin menuju Uhud. Di Syaikhan beliau berhenti. Dilihatnya di tempat itu ada sepasukan tentara yang  identitasnya belum  dikenal. Ketika ditanyakan, kemudian diperoleh keterangan,  bahwa mereka adalah orang-orang Yahudi sekutu Abdullah bin Ubay. Nabi bersabda, "Jangan meminta pertolongan orang-orang musyrik dalam melawan orang musyrik, sebelum mereka masuk Islam!"

Pagi-pagi sekali, kaum Muslimin berangkat menuju Uhud. Mereka memotong jalan sedemikian rupa sehingga pihak musuh itu berada di belakang mereka. Selanjutnya Muhammad SAW mengatur barisan para sahabat. Lima puluh orang barisan pemanah ditempatkan di lereng-lereng gunung.

"Lindungi kita dan belakang, sebab kita khawatir mereka akan mendatangi kita dari belakang. Dan bertahanlah kalian di tempat itu,  jangan  ditinggalkan!  Kalau kalian melihat kami dapat menghancurkan mereka sehingga kami memasuki pertahanan mereka, kalian jangan meninggalkan tempat. Dan jika kalian melihat kami diserang  jangan membantu. Tugas kalian adalah menghujani kuda mereka dengan panah, sebab  dengan serangan panah kuda itu takkan dapat maju," pesan Rasulullah.

Selain pasukan pemanah, yang lain tidak diperbolehkan menyerang siapa pun, sebelum beliau memberi perintah menyerang.

Adapun  pihak  Quraisy, mereka pun sudah menyusun barisan. Barisan kanan dipimpin oleh Khalid bin Walid, sedang sayap kiri dipimpin oleh Ikrimah bin Abu Jahal. Bendera diserahkan kepada Abdul Uzza Talhah bin Abi Talhah. Wanita-wanita  Quraisy sambil memukul tambur dan genderang berjalan di tengah-tengah barisan  itu. Kadang mereka di depan barisan, kadang di belakangnya. Mereka dipimpin oleh Hindun binti Utbah, isteri Abu Sufyan.

Kedua belah pihak sudah siap bertempur. Masing-masing telah siap mengerahkan  pasukan. Yang selalu teringat oleh Quraisy adalah peristiwa Badar dan korban-korbannya. Yang selalu teringat oleh kaum Muslimin Allah SWT serta pertolongan-Nya. Rasulullah berpidato memberi semangat dalam menghadapi pertempuran itu. Beliau menjanjikan pasukannya akan mendapat kemenangan apabila mereka tabah.

Perang pun pecah. Budak-budak Quraisy dan Ikrimah bin Abu Jahal yang berada di  sayap kiri, berusaha hendak menyerang Muslimin dari samping, tapi pihak Muslimin menghujani mereka dengan batu sehingga Abu Amir dan pengikut-pengikutnya lari tunggang-langgang.

Ketika itu juga Hamzah bin Abdul Muthalib berteriak, "Mati, mati!" Lalu terjun ke tengah-tengah tentara Quraisy itu.

Pekik takbir menggema dari kalangan Muslimin seraya melancarkan melancarkan serangan. Pihak Quraisy pun tak mau kalah, mereka menyerbu pula ke tengah-tengah pertempuran. Darah mereka mendidih ingin menuntut balas atas pemimpin-pemimpin dan pemuka-pemuka mereka yang tewas setahun lalu di Badar.

Dua kekuatan yang tidak seimbang itu, baik jumlah orang maupun perlengkapan, kini berhadap-hadapan. Kekuatan dengan jumlah yang besar ini motifnya cuma satu, balas-dendam! Dendam yang tak pernah pupus sejak Perang Badar. Sedang jumlah yang lebih kecil, motifnya adalah mempertahankan akidah, iman dan agama Allah.

Mereka yang menuntut balas itu terdiri dari orang-orang yang lebih kuat, dengan jumlah pasukan yang jauh lebih besar. Di belakang mereka, kaum wanita turut pula mengobarkan semangat. Tidak sedikit di antara mereka yang membawa budak-budak dan menjanjikan akan memberikan hadiah yang besar apabila mereka dapat membalaskan dendam atas kematian ayah, saudara, suami atau orang-orang yang dicintai lainnya, yang terbunuh di Badar.

Hamzah bin Abdul Muthalib adalah seorang pahlawan Arab terbesar dan paling  berani. Ketika terjadi Perang Badar dialah yang telah menewaskan ayah dan saudara Hindun, begitu juga tidak sedikit orang-orang yang dicintainya yang telah ditewaskan. Seperti juga dalam Perang Badar, dalam Perang Uhud ini pun Hamzah adalah singa dan pedang Tuhan (Syaif Allah) yang tajam. Ia berhasil menewaskan Arta bin Abd Syurahbil, Siba' bin Abdil Uzza Al-Ghubsyani, dan setiap musuh yang dijumpainya, tidak luput dari sabetan pedangnya.

Hindun telah menjanjikan Wahsyi—orang Abisinia dan budak Jubair bin Mut'im—akan diberikan hadiah besar apabila ia berhasil membunuh Hamzah. Begitu juga Jubair bin Mut'im sendiri, tuannya, yang pamannya terbunuh di Badar, berkata padanya, "Kalau Hamzah paman Muhammad itu kau bunuh, maka engkau kumerdekakan!"

Wahsyi pun berhasil membunuh Hamzah, paman Rasulullah. Hamzah, si pedang Allah, menjemput syahid di Uhud, terkena sambaran tombak Wahsyi. "Ketika terjadi  pertempuran, kucari Hamzah dan kuincar dia. Kemudian kulihat dia di tengah-tengah orang banyak sedang membabati orang dengan pedangnya. Tombak kuayunkan-ayunkan, lalu kulemparkan, dan mengenai sasaran di bawah perut Hamzah. Kubiarkan tombak itu sampai dia tewas. Sesudah itu kuhampiri dia dan kuambil tombakku, lalu kembali ke markas. Aku diam di sana, sebab sudah tak ada tugas lain selain itu. Aku membunuh Hamzah agar dimerdekakan dari perbudakan. Dan sesudah aku pulang ke Makkah, ternyata aku dimerdekakan," kata Wahsyi menuturkan kisahnya membunuh Hamzah.

Pertempuran berat sebelah itu, antara 700 orang Muslim melawan 3.000 kaum Musyrik Quraisy berhasil dimenangkan kaum Muslimin. Kemenangan Muslimin dalam Perang Uhud pada pagi hari itu sebenarnya adalah suatu mukjizat. Adakalanya orang menafsirkan, bahwa kemenangan itu disebabkan oleh kemahiran Muhammad SAW mengatur barisan pemanah di lereng bukit, merintangi pasukan berkuda dengan anak panah sehingga mereka tidak dapat maju dan tidak dapat menyergap Muslimin dari belakang. Ini memang benar. Tetapi juga tidak salah, kegagahan dan keberanian 600 orang Muslimin yang menyerbu pasukan yang jumlahnya lima kali lipat lebih banyak itu pun karena motifnya adalah iman.

Inilah yang membawa mujizat kepahlawanan melebihi kepandaian pimpinan. Barangsiapa yang telah beriman kepada kebenaran, maka ia takkan goncang oleh kekuatan materi, betapapun besarnya. Semua kekuatan batil yang digabungkan  sekalipun, takkan dapat menggoyahkan kebulatan tekad itu. Oleh sebab itulah, pasukan berkuda Quraisy kocar-kacir. Dan hampir-hampir pula wanita-wanita  mereka pun akan menjadi tawanan perang yang hina dina.

Kaum Muslimin kini mengejar musuh sampai mereka meletakkan senjata di mana  saja asal jauh dari bekas markas mereka. Kaum Muslimin kini mulai memperebutkan   rampasan perang. Alangkah banyaknya jumlah rampasan perang itu! Hal ini membuat mereka lupa, dan mengikuti terus jejak musuh, karena sudah mengharapkan kekayaan duniawi.

Hal ini dilihat pula oleh pasukan pemanah yang oleh Rasul diminta jangan meninggalkan tempat di gunung  itu, sekalipun mereka melihat kawan-kawannya diserang. Dengan tak dapat menahan air liur melihat rampasan perang itu, satu sama lain mereka berkata, "Kenapa kita masih tinggal di sini dan tidak berbuat apa-apa. Allah telah menghancurkan musuh kita. Mereka, saudara-saudara  kita  itu,  sudah   merebut markas musuh. Ayo kita ke sana, ikut mengambil rampasan perang!"

Yang seorang lagi tentu menjawab, "Bukankah Rasulullah sudah berpesan jangan meninggalkan tempat kita ini? Sekalipun mereka diserang!"

Yang pertama berkata lagi, "Rasulullah tidak menghendaki kita tinggal di sini terus-menerus, setelah Tuhan menghancurkan kaum musyrik itu."

Lalu mereka berselisih. Saat itu juga, tampil Abdullah bin Jubair, berpidato agar mereka jangan melanggar perintah Rasul. Namun sebagian besar tidak patuh. Mereka pun meninggalkan pos pertahanan. Yang tertinggal hanya beberapa orang  saja, tidak sampai sepuluh orang.

Seperti kesibukan Muslimin yang lain, para pemanah yang ikut bergegas meninggalkan posisinya itu pun sibuk pula dengan harta rampasan. Pada saat itulah Khalid bin Walid mengambil kesempatan, sebagai komandan kavaleri Makkah, ia mengerahkan pasukannya ke tempat pasukan pemanah, dan berhasil menghancurkannya.

Pihak Muslimin sangat sibuk memerhatikan soal rampasan perang. Di tengah keaadaan yang demikian, tiba-tiba Khalid bin Walid berseru sekuat-kuatnya, dan  membalikkan anak buahnya ke belakang tentara Muslimin. Mereka yang tadinya sudah terpukul mundur kini kembali maju dan menyerang pasukan Muslimin dengan pukulan maut yang hebat. Bencana pun berbalik.

Barisan kaum Muslimin sudah centang-perenang, persatuan sudah pecah-belah,  pahlawan-pahlawan teladan telah dihantam oleh pihak Quraisy. Mereka yang tadinya   berjuang dengan perintah Allah hendak mempertahankan iman, sekarang berjuang hendak menyelamatkan diri sendiri dari cengkraman maut.

Pada saat kondisi sedemikian kacau, muncul rumor bahwa Rasulullah telah terbunuh. Begitu Quraisy mendengar Nabi Muhammad terbunuh, mereka terjun mengalir ke  jurusan tempat di mana tadi beliau berada. Masing-masing ingin supaya dialah yang membunuhnya atau ikut memegang peran di dalamnya.

Ketika itulah Muslimin yang dekat sekali dengan Nabi segera mengelilinginya,  menjaga dan melindunginya. Iman mereka tergugah kembali, keberanian mereka  makin bertambah bilamana mereka melihat batu yang dilemparkan Quraisy itu telah  mengenai diri Nabi.

Wajah Rasulullah terluka, gigi gerahamnya tanggal. Dua keping lingkaran rantai topi besi yang menutupi wajah Rasulullah menembusi pipinya. Batu-batu yang menimpa Rasulullah itu dilemparkan oleh Utbah bin Abi Waqqash. Rasulullah dan para sahabat mundur dan mendaki Gunung Uhud, dengan demikian mereka dapat menyelamatkan diri dari kejaran musuh.

Ketika balatentara Islam sibuk mendaki Gunung Uhud, tiba-tiba Khalid bin Walid dengan pasukan berkudanya sudah berada di atas  bukit. Tetapi Umar bin Al-Khathab dan beberapa orang sahabat Rasul segera menyerang dan berhasil mengusir mereka.   Sementara itu, kaum Muslimin sudah makin tinggi mendaki gunung.

Namun keadaan mereka sudah begitu payah dan letih, sampai-sampai Nabi SAW melakukan shalat Zuhur sambil duduk—juga karena luka-luka yang dideritanya. Demikian juga kaum Muslimin yang lain, mereka shalat di belakang Rasulullah sambil duduk pula.

Sebaliknya pihak Quraisy, sangat girang dengan kemenangan ini. Mereka merasa telah membalas dendam kekelahan Perang Badar. Seperti kata Abu Sufyan, "Yang sekarang ini untuk peristiwa Badar. Sampai jumpa lagi tahun depan!"

Tetapi istrinya, Hindun binti Utbah, tidak cukup puas hanya dengan kemenangan, dan  tidak cukup hanya dengan tewasnya Hamzah bin Abdul Muthalib. Ia dan rombongannya menyiksa mayat-mayat Muslimin; mereka memotongi telinga dan hidung mayat kaum Muslimin. Hindun juga membedah perut Hamzah, mengeluarkan jantungnya, lalu mengunyahnya.

Selesai menguburkan mayat-mayatnya sendiri, Quraisy pun pergi. Kini kaum Muslimin kembali ke garis depan guna menguburkan mayat-mayat pasukan Islam. Kemudian Rasulullah mencari jenazah Hamzah, pamannya.

Ketika Rasulullah melihat kondisi jenazah pamannya, yang dianiaya dan dibedah perutnya, beliau sangat sedih. "Takkan pernah ada orang mengalami malapetaka seperti engkau ini. Belum pernah aku menyaksikan suatu peristiwa yang begitu menimbulkan amarahku seperti  kejadian ini," ujarnya.

Lalu katanya lagi, "Demi Allah, kalau pada suatu ketika Allah memberikan kemenangan kepada kami melawan mereka, niscaya akan kuaniaya mereka dengan cara yang belum pernah dilakukan oleh orang Arab."

Namun Allah SWT menurunkan firman-Nya: "Dan kalau kamu mengadakan pembalasan, balaslah dengan balasan yang sama dengan siksaan yang ditimpakan kepadamu. Akan tetapi jika kamu bersabar, sesungguhnya itulah yang lebih baik bagi orang-orang yang sabar. Bersabarlah (hai Muhammad) dan tiadalah kesabaran itu melainkan dengan pertolongan Allah dan janganlah kamu bersedih hati terhadap (kekafiran) mereka dan janganlah kamu bersempit dada terhadap apa yang mereka tipu dayakan." (QS An-Nahl: 126-127)

Rasulullah kemudian memaafkan mereka, ditabahkannya hatinya dan beliau melarang  orang-orang melakukan penganiayaan. Diselubunginya jenazah Hamzah dengan mantelnya lalu dishalatkannya.

Nabi SAW kemudian memerintahkan supaya korban-korban itu dikuburkan di tempat mereka menemui syahid, demikian pula dengan jenazah Hamzah. Setelah itu, kaum Muslimin berangkat pulang ke Madinah, dibawah pimpinan Rasulullah, dengan meninggalkan 70 orang syuhada.

Kepedihan terasa melecut hati mereka; karena kehancuran yang mereka alami setelah  mendapat kemenangan. Semua ini terjadi karena pasukan pemanah melanggar perintah Nabi. Sementara kaum Muslimin terlalu sibuk mengurusi rampasan perang dari pihak musuh.




Rabu, 22 Januari 2014

MENDIDIK ANAK MENURUT SYARIAT ISLAM


Bismillahirrohmanirrohiim

Menjadi orangtua pada zaman globalisasi saat ini tidak mudah. Apalagi jika orangtua mengharapkan anaknya tidak sekadar menjadi anak yang pintar, tetapi juga taat dan salih. Menyerahkan pendidikan sepenuhnya kepada sekolah tidaklah cukup. Mendidik sendiri dan membatasi pergaulan di rumah juga tidak mungkin. Membiarkan mereka lepas bergaul di lingkungannya cukup berisiko. Lalu, bagaimana cara menjadi orangtua yang bijak dan arif untuk menjadikan anak-anaknya taat pada syariah?

Asah Akal Anak untuk Berpikir yang Benar

Hampir setiap orangtua mengeluhkan betapa saat ini sangat sulit mendidik anak. Bukan saja sikap anak-anak zaman sekarang yang lebih berani dan agak ’sulit diatur’, tetapi juga tantangan arus globalisasi budaya, informasi, dan teknologi yang turut memiliki andil besar dalam mewarnai sikap dan perilaku anak.

“Anak-anak sekarang beda dengan anak-anak dulu. Anak dulu kan takut dan segan sama orangtua dan guru. Sekarang, anak berani membantah dan susah diatur. Ada saja alasan mereka!”

Begitu rata-rata komentar para orangtua terhadap anaknya. Yang paling sederhana, misalnya, menyuruh anak shalat. Sudah jamak para ibu ngomel-ngomel, bahkan sambil membentak, atau mengancam sang anak agar mematikan TV dan segera shalat. Di satu sisi banyak juga ibu-ibu yang enggan mematikan telenovela/sinetron kesayangannya dan menunda shalat. Fenomena ini jelas membingungkan anak.

Pandai dan beraninya anak-anak sekarang dalam berargumen untuk menolak perintah atau nasihat, oleh sebagian orangtua atau guru, mungkin dianggap sebagai sikap bandel atau susah diatur. Padahal bisa jadi hal itu karena kecerdasan atau keingintahuannya yang besar membuat dia menjawab atau bertanya; tidak melulu mereka menurut dan diam (karena takut) seperti anak-anak zaman dulu.

Dalam persoalan ini, orangtua haruslah memperhatikan dua hal yaitu: Pertama, memberikan informasi yang benar, yaitu yang bersumber dari ajaran Islam. Informasi yang diberikan meliputi semua hal yang menyangkut rukun iman, rukun Islam dan hukum-hukum syariah. Tentu cara memberikannya bertahap dan sesuai dengan kemampuan nalar anak. Yang penting adalah merangsang anak untuk mempergunakan akalnya untuk berpikir dengan benar. Pada tahap ini orangtua dituntut untuk sabar dan penuh kasih sayang. Sebab, tidak sekali diajarkan, anak langsung mengerti dan menurut seperti keinginan kita. Dalam hal shalat, misalnya, tidak bisa anak didoktrin dengan ancaman, “Pokoknya kalau kamu nggak shalat dosa. Mama nggak akan belikan hadiah kalau kamu malas shalat!”

Ajak dulu anak mengetahui informasi yang bisa merangsang anak untuk menalar mengapa dia harus shalat. Lalu, terus-menerus anak diajak shalat berjamaah di rumah, juga di masjid, agar anak mengetahui bahwa banyak orang Muslim yang lainnya juga melakukan shalat.

Kedua, jadilah Anda teladan pertama bagi anak. Ini untuk menjaga kepercayaan anak agar tidak ganti mengomeli Anda—karena Anda hanya pintar mengomel tetapi tidak pintar memberikan contoh.

Terbiasa memahami persoalan dengan berpatokan pada informasi yang benar adalah cara untuk mengasah ketajaman mereka menggunakan akalnya. Kelak, ketika anak sudah sempurna akalnya, kita berharap, mereka mempunyai prinsip yang tegas dan benar; bukan menjadi anak yang gampang terpengaruh oleh tren pergaulan atau takut dikatakan menjadi anak yang tidak ‘gaul’.



Tanamkan Akidah dan Syariah Sejak Dini

Menanamkan akidah yang kokoh adalah tugas utama orangtua. Orangtualah yang akan sangat mempengaruhi tumbuh dan berkembangnya sendi-sendi agama dalam diri anak. Rasulullah saw. bersabda:

Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah. Ibu dan bapaknyalah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani, atau Majusi. (HR al-Bukhari).

Tujuan penanaman akidah pada anak adalah agar si anak mengenal betul siapa Allah. Sejak si bayi dalam kandungan, seorang ibu bisa memulainya dengan sering bersenandung mengagungkan asma Allah. Begitu sudah lahir, orangtua mempunyai kesempatan untuk membiasakan si bayi mendengarkan ayat-ayat al-Quran. Pada usia dini anak harus diajak untuk belajar menalar bahwa dirinya, orangtuanya, seluruh keluarganya, manusia, dunia, dan seluruh isinya diciptakan oleh Allah. Itu sebabnya mengapa manusia harus beribadah dan taat kepada Allah.

Lebih jauh, anak dikenalkan dengan asma dan sifat-sifat Allah. Dengan begitu, anak mengetahui betapa Allah Mahabesar, Mahaperkasa, Mahakaya, Mahakasih, Maha Melihat, Maha Mendengar, dan seterusnya. Jika anak bisa memahaminya dengan baik, insya Allah, akan tumbuh sebuah kesadaran pada anak untuk senantiasa mengagungkan Allah dan bergantung hanya kepada Allah. Lebih dari itu, kita berharap, dengan itu akan tumbuh benih kecintaan anak kepada Allah; cinta yang akan mendorongnya gemar melakukan amal yang dicintai Allah.

Penanaman akidah pada anak harus disertai dengan pengenalan hukum-hukum syariah secara bertahap. Proses pembelajarannya bisa dimulai dengan memotivasi anak untuk senang melakukan hal-hal yang dicintai oleh Allah, misalnya, dengan mengajak shalat, berdoa, atau membaca al-Quran bersama.

Yang tidak kalah penting adalah menanamkan akhlâq al-karîmah seperti berbakti kepada orangtua, santun dan sayang kepada sesama, bersikap jujur, berani karena benar, tidak berbohong, bersabar, tekun bekerja, bersahaja, sederhana, dan sifat-sifat baik lainnya. Jangan sampai luput untuk mengajarkan itu semua semata-mata untuk meraih ridha Allah, bukan untuk mendapatkan pujian atau pamrih duniawi.

Kerjasama Ayah dan Ibu

Tentu saja, anak akan lebih mudah memahami dan mengamalkan hukum jika dia melihat contoh real pada orangtuanya. Orangtua adalah guru dan orang terdekat bagi si anak yang harus menjadi panutan. Karenanya, orangtua dituntut untuk bekerja keras untuk memberikan contoh dalam memelihara ketaatan serta ketekunan dalam beribadah dan beramal salih. Insya Allah, dengan begitu, anak akan mudah diingatkan secara sukarela.

Keberhasilan mengajari anak dalam sebuah keluarga memerlukan kerjasama yang kompak antara ayah dan ibu. Jika ayah dan ibu masing-masing mempunyai target dan cara yang berbeda dalam mendidik anak, tentu anak akan bingung, bahkan mungkin akan memanfaatkan orangtua menjadi kambing hitam dalam kesalahan yang dilakukannya. Ambil contoh, anak yang mencari-cari alasan agar tidak shalat. Ayahnya memaksanya agar shalat, sementara ibunya malah membelanya. Dalam kondisi demikian, jangan salahkan anak jika dia mengatakan, “Kata ibu boleh nggak shalat kalau lagi sakit. Sekarang aku kan lagi batuk, nih…”

Peran Lingkungan, Keluarga, dan Masyarakat

Pendidikan yang diberikan oleh orangtua kepada anak belumlah cukup untuk mengantarkan si anak menjadi manusia yang berkepribadian Islam. Anak juga membutuhkan sosialisasi dengan lingkungan tempat dia beraktivitas, baik di sekolah, sekitar rumah, maupun masyarakat secara luas.

Di sisi inilah, lingkungan dan masyarakat memiliki peran penting dalam pendidikan anak. Masyarakat yang menganut nilai-nilai, aturan, dan pemikiran Islam, seperti yang dianut juga oleh sebuah keluarga Muslim, akan mampu mengantarkan si anak menjadi seorang Muslim sejati.

Potret masyarakat sekarang yang sangat dipengaruhi oleh nilai dan pemikiran materialisme, sekularisme, permisivisme, hedonisme, dan liberalisme merupakan tantangan besar bagi keluarga Muslim. Hal ini yang menjadikan si anak hidup dalam sebuah lingkungan yang membuatnya berada dalam posisi dilematis. Di satu sisi dia mendapatkan pengajaran Islam dari keluarga, namun di sisi lain anak bergaul dalam lingkungan yang sarat dengan nilai yang bertentangan dengan Islam.

Tarik-menarik pengaruh lingkungan dan keluarga akan mempengaruhi sosok pribadi anak. Untuk mengatasi persoalan ini, maka dakwah untuk mengubah sistem masyarakat yang bertentangan dengan nilai-nilai Islam mutlak harus di lakukan. Hanya dengan itu akan muncul generasi Islam yang taat syariah. Insya Allah. []
Sembilan Tips Mendidik Anak Taat Syariah:

Tumbuhkan kecintaan pertama dan utama kepada Allah.
Ajak anak Anda mengidolakan pribadi Rasulullah.
Ajak anak Anda terbiasa menghapal, membaca, dan memahami al-Quran.
Tanamkan kebiasaan beramal untuk meraih surga dan kasih sayang Allah.
Siapkan reward (penghargaan) dan sakgsi yang mendidik untuk amal baik dan amal buruknya.
Yang terpenting, Anda menjadi teladan dalam beribadah dan beramal salih.
Ajarkan secara bertahap hukum-hukum syariah sebelum usia balig.
Ramaikan rumah, mushola, dan masjid di lingkungan Anda dengan kajian Islam, dimana Anda dan anak Anda berperan aktif.
Ajarkan anak bertanggung jawab terhadap kewajiban-kewajiban untuk dirinya, keluarganya, lingkungannya, dan dakwah Islam.

Wallahu a`lam

KEUTAMAAN SHOLAT TAHAJUD


Bismillahirrohmanirrohiim

Umar bin Abdil Aziz adalah seorang khalifah dari Dinasti Umayah yang dikenal adil. Begitu adilnya sehingga dia disejajarkan dengan Sayidina Umar bin Khattab r.a. Karena namanya sama, maka dia pun disebut dengan panggilan Umar II atau Umar Ats-Tsani. Selama memerintah, seluruh waktunya dia abdikan untuk kesejahteraan rakyat, baik kesejahteraan duniawi maupun ukhrawi.

Selain adil, dia juga sangat wara’. Dia begitu hati-hati dengan harta negara atau harta kaummuslimin, sehingga tak mau menyentuhnya barang sedikit pun.

Dia pun ahli ibadah. Siang hari dipakai melayani rakyat, malam hari untuk beribadah kepada Allah. Setiap malam dia selalu bangun dari tidurnya di kala semua orang terlelap dalam, lalu dia cari masjid yang ditinggalkan orang. Di situ dia melaksanakan salat tahajud sebanyak yang dia mampu.

Bila datang waktu sahur (penghujung malam, menjelang subuh), dia meletakkan dahi dan pipinya di atas tanah. Dia terus menangis sampai terbit fajar. Itulah kebiasaannya setiap malam.

Suatu kali dia melakukan hal demikian seperti biasa. Ketika dia mengangkat kepala, dan rampung dari salat serta memelasnya, dia mendapati secarik kertas berwarna hijau. Ada cahaya yang memancar dari langit pada kertas itu. Di situ tertulis, “Ini adalah pembebasan dari neraka untuk Umar bin Abdil Aziz dari Dzat Mahadiraja yang Mahaperkasa.”

Salat malam atau tahajud memang sarat rahasia. “Salat dua rakaat di malam hari adalah khazanah atau simpanan kekayaan di akhirat kelak,” tulis Zainuddin Ali Al-Malibari dalam kitabnya Hidayatul Atqiya’. Betapa tidak. Nabi SAW bersabda, “Manusia bakal dikumpulkan di satu tanah berdataran tinggi. Lalu terdengar seruan, ‘Di manakah orang-orang yang lambungnya menjauh dari pembaringan lalu melakukan salat (malam), sedang mereka tergolong orang yang sedikit.’ Kemudian masuklah mereka ke sorga tanpa dihisab.”

Khazanah atau simpanan kekayaan itu sangat kita butuhkan nantinya. Bakal menyelamatkan kita di hari tiada sanak, tiada anak. Alhasil, tiada siapapun yang mau menolong kita di hari itu, kecuali khazanah tersebut. Makanya, kata Syekh Zainuddin, “Perbanyaklah khazanah-khazanah lantaran kau pasti bakal membutuhkannya.”

Salat tahajud akan menyelamatkan kita dan memasukkan kita, dengan izin Allah, ke dalam sorga. Begitulah ditegaskan oleh Rasulullah SAW. “Wahai manusia, sebarkanlah salam, berilah makan (orang miskin), sambunglah tali famili, dan lakukan salat malam sementara orang-orang tidur, niscaya kamu masuk sorga dengan selamat.”

Imam Al-Junaid adalah sufi yang mengisi malam-malamnya dengan salat tahajud. Setelah wafatnya, ada orang yang bermimpi melihat dia. “Apa yang diperbuat Allah kepada Guru?” tanya orang itu dalam mimpi.

Al-Junaid menjawab, “Sirna segala isyarat, hilang semua kata, punah seluruh ilmu, memuai segala perlambang. Tidak ada yang bermanfaat pada kami kecuali rakaat-rakaat kecil yang kami laksanakan di waktu sahur.”

Maksudnya, semua isyarat yang pernah diberikan Imam Al-Junaid kepada murid-murid, seluruhnya punah, binasa, dan tiada berpahala. Semua kata yang pernah dia ucapkan di kala mengajar hilang tak berbekas, tanpa menyisakan pahala. Perlambang-perlambang yang pernah dia sampaikan kepada murid-murid pemulanya, semua meranggas, dan Al-Junaid tak meraih pahala darinya. Pahala hanya dia peroleh dari salat-salat sunnah yang dia kerjakan di malam hari. Maksudnya, semua hal ini tidak dia dapatkan balasannya karena pada galibnya amal-amal demikian bercampur riya’ dan penyakit-penyakit hati lainnya, kecuali salat-salat sunnah di malam hari.

Imam Al-Junaid mengatakan hal itu, tidak lain, adalah untuk mendorong orang supaya bertahajud, di samping untuk menunjukkan keutamaan salat tahajud. Pasalnya, beliau adalah orang yang amalnya jauh dari kecampuran riya’ dan semacamnya. Betapa tidak, beliau adalah pemimpin para sufi.

Alhasil, salat tahajud sangat istimewa. Ibadah ini relatif lebih mudah untuk dilaksanakan dengan hati ikhlas karena Allah semata. Sebab, inilah amal yang tidak dilihat oleh orang lain. Jadi, kalau orang melakukan salat tahajud, dia mau pamer (riya’) kepada siapa? Tidak ada, karena semua orang sedang tertidur lelap.

Begitu istimewa sehingga inilah satu-satunya salat di luar salat lima waktu yang perintahnya ada dalam Al-Quran secara eksplisit – meski perintah itu ditujukan kepada Nabi SAW.

يَا أَيُّهَا الْمُزَّمِّلُ قُمِ اللَّيْلَ إِلَّا قَلِيلًا

“Wahai orang yang berselimut (Muhammad SAW.), beribadahlah kamu sepanjang malam kecuali sedikit saja (dari malam).” (Al-Muzzammil: 1-2)

Bagi Nabi SAW, salat malam hukumnya fardhu, sedang untuk umatnya adalah sunnah, yakni sunnah yang kuat. Begitu kuat kesunnahannya, sampai-sampai Nabi bersabda, “Seutama-utama salat setelah salat lima waktu ialah salat malam.”

Bukan hanya Nabi Muhammad SAW, para nabi sebelum beliau pun membiasakan salat malam ini. Bersabda beliau, “Hendaklah kalian melakukan salat malam karena itu merupaklan tradisi orang-orang saleh sebelum kalian.”

Imam Abu Yazid Al-Busthami punya cerita. Di masa kecilnya, beliau belajar di pesantren. Suatu kali, beliau membaca Al-Quran di rumah. Ketika sampai pada surah Al-Muzzammil, dia bertanya kepada ayahandanya, “Ayah, siapakah orang ini yang diperintah Allah supaya salat malam?”

Sang ayah menjawab, “Anakku, beliau adalah junjungan kita Nabi Muhammad SAW.”

Al-Junaid kecil bertanya lagi, “Lalu mengapa Ayah tidak mengerjakan apa yang dikerjakan Nabi Muhammad SAW?”

“Anakku, itu adalah kehormatan dari Allah untuk beliau.”

Al-Junaid meneruskan ngaji Qur’annya. Ketika dia sampai pada bacaan: “Wa thaa’ifatun minal ladziina ma’ak” (dan melakukan salat malam pula, sekelompok orang yang bersamamu ) di surah Al-Muzzammil, dia bertanya, “Ayah, siapakah mereka?”

“Mereka adalah para sahabat Nabi Muhammad SAW.”

“Ayah, mengapa Ayah tidak berbuat seperti mereka?”

“Anakku, Allah menguatkan mereka untuk beribadah malam.”

“Ayah, tidak ada kebajikan bagi orang yang tidak mau mencontoh Nabi Muhammad dan para sahabat beliau.”

Sejak itu ayah Al-Junaid terpanggil untuk selalu salat malam. Suatu kali si anak berkata kepada bapaknya, “Ayah, tolong ajari aku salat malam.”

Tapi bapaknya melarang. “Anakku, kamu masih kecil.”

Si anak berkata, “Ayah, kelak kalau Allah mengumpulkan seluruh makhluk di hari kiamat, dan menyuruh para penghuni sorga supaya masuk ke dalamnya, aku akan melapor, ‘Tuhan, aku sudah hendak salat malam, lalu ayah saya mencegah saya’.”

Bapaknya mati kutu. “Anakku, berdirilah, mari salat malam.”

Para ulama dan para sufi juga sangat gemar melaksanakan salat malam ini. Sampai-sampai ada seorang sufi yang berkata, “Tak ada yang membuatku sedih kecuali mendengar azan subuh.”

Allah memberikan sanjungan dan pujian bagi orang-orang selalu mendirikan shalat tahajud dalam QS. As Sajdah: 16

"Lambung mereka jauh dari tempat tidurnya ("Maksudnya mereka tidak tidur di waktu biasanya orang tidur, untuk mengerjakan shalat malam") sedang mereka berdo'a kepada Tuhannya dengan rasa takut dan harap, dan mereka menafkahkan sebagian dari rizki yang Kami berikan kepada mereka" (As Sajdah: 16)

Dan sanjungan Allah kepada kaum lainnya dengan firmanNya, QS. Adz Dzariyaat: 17-18

كَانُوا قَلِيْلاً مِّنَ اللَّيْلِ مَا يَهْجَعُوْنَ وَبِالأَسْـحَارِ هُمْ يَسْتَغْفِرُوْنَ

"Mereka sedikit sekali tidur di waktu malam; dan di akhir-akhir malam mereka memohon ampun (kepada Allah)"

QS. Al Furqaan: 64

وَالَّذِيْنَ يَبِيْتُوْنَ لِرَبِّهِمْ سُجَّدًا وَقِيَامًا

"Dan orang-orang yang melalui malam hari dengan bersujud dan berdiri untuk Tuhan mereka"

Diriwayatkan oleh At Tirmidzi dari Abdullah bin Salam, bahwa Nabi Saw. bersabda:

يَا أَيُّهَا النَّاسُ أَفْشُوا السَّلاَمَ وَأَطْعِمُوا الطَّعَامَ وَصِلُوا اْلأَرْحَامَ وَصَلُّوا بِاللَّيْلِ وَالنَّاسُ نِيَامٌ تَدْخُلُوا الْجَنَّةَ بِسَلاَمٍ

"Wahai sekalian manusia, sebarkan salam, berilah orang miskin makan, sambungkan tali kekeluargaan dan shalatlah pada waktu malam ketika semua manusia tidur, niscaya kalian masuk Surga dengan selamat"

Rabi’ah Al-Adawiyah, bila malam buta tiba, selalu menyempatkan diri untuk melakukan salat dan munajat. Dia beribadah malam dan bermunajat di malam hari dengan begitu “mesranya”. Seolah dia hanya berdua saja dengan-Nya, “ketika raja-raja telah menutup pintu gerbangnya.”

Salat malam memang bisa menjadi sarana yang sangat efektif untuk bertaqarrub atau mendekatkan diri pada Allah. Senyapnya suasana di malam buta bisa membantu kita untuk merasakan “kehadiran-Nya” dan untuk lebih khusyu’ dalam salat kita. Sabda Rasulullah SAW, “Salat malam juga taqarrub bagi kalian, media bagi kalian untuk mendekat dan berdialog dengan Tuhan kalian. Salat malam pun penebus bagi kesalahan-kesalahan, pencegah dosa-dosa, dan penghalau penyakit di badan.”

Juga diriwayatkan oleh At Tirmidzi dari Bilal, bahwa Nabi saw. bersabda:

عَلَيْكُمْ بِـقِيَامِ اللَّيْلِ فَإِنَّهُ دَأْبُ الصَّالِحِيْنَ قَبْلَكُمْ وَإِنَّ قِـيَامَ اللَّيْلِ مَقْرَبَةٌ لَكُمْ إِلَى رَبِّـكُمْ وَمُكَفِّرَةٌ لِلسَّيِّئَاتِ وَمَنْهَاةٌ عَنِ اْلإِثْمِ وَمُطَرِّدَةٌ لِلدَّاءِ عَنِ الْجَسَدِ (صححه الحاكم ووافقه الذهبى

"Hendaklah kamu mendirikan shalat malam karena itu tradisi orang-orang shalih sebelummu. Sungguh, shalat malam mendekatkan dirimu kepada Tuhanmu, menghapuskan kesalahan, menjaga diri dari dosa dan mengusir penyakit dari tubuh" (Hadits ini dinyatakan shahih oleh Al-Hakim dan Adz-Dzahabi menyetujuinya, 1/308)

Dan ternyata sabda Rasulullah saw. memang benar-benar terbukti secara ilmiah yaitu dimana salat malam memang bisa menyembuhkan penyakit. Dr. Moh. Soleh, ahli kedokteran dari Unair Surabaya, telah membuktikan hal itu melalui penelitian ilmiyah untuk disertasinya yang berjudul “Terapi Salat Tahajud: Menyembuhkan Berbagai Penyakit.” Dalam disertasi yang sekarang telah dibukukan itu dia menjelaskan salat tahajud itu positif dapat menyembuhkan dan menangkal berbagai penyakit, terutama penyakit jantung. Sebab, salat tahajud yang dilakukan dengan ikhlas dapat meningkatkan kekebalan tubuh terhadap berbagai penyakit.

Selamat mencoba khasiat shalat tahajud.....wahai saudaraku semua, dan buktikan sendiri manfaatnya.


Wallahu a`lam

Senin, 20 Januari 2014

BIRRUL WALIDAIN


Bismillahirrohmanirrohiim

Birrul Walidain terdiri dari kata birru dan walidain. Birru atau al-birru berarti kebajikan dan al-walidain artinya kedua orang tua atau ibu bapak. Birrul walidain berarti berbuat baik kepada kedua orang tua.

Kedudukan Birrul walidain:
Birrul walidain memiliki kedudukan yang istimewa dalam Islam. Dalil yang membuktikan hal tsb. al:

1. Allah mewasiatkan kepada kita, manusia untuk berbuat baik kepada kedua orang tua, sebagaimana misalnya firman Allah dalam surah Al Ahqaaf: 25 yang artinya, "Kami wasiatkan kepada ummat manusia supaya berbuat baik kepada kedua orang tua...."

2. Perintah berbuat baik kepada kedua orang tua diletakkan Allah SWT di dalam Al Qur'an setelah perintah beribadah hanya kepada-Nya, sebagaimana Allah SWT berfirman dalam surah Al Baqarah: 83 yang artinya "Dan ingatlah ketika Kami mengambil janji dari Bani Israil yaitu, "Janganlah kamu menyembah selain Allah, berbuat baiklah kepada ibu bapakmu,....""

3. Perintah berterima kasih kepada kedua orang tua diletakkan Allah SWT setelah perintah berterima kasih kepada Allah SWT, sebagaimana firman-Nya di dalam surah Luqman: 14 yang artinya, "Dan kami perintahkan kepada manusia (agar berbuat baik) kepada kedua ibu bapaknya, ibunya yang telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang semakin lemah, dan menyusukannya selama dua tahun. Bersyukurlah kepadaKu dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepadaKulah kembalimu."

4. Rasulullah SAW meletakkan birrul walidain ini sebagai amalan nomor dua terbaik setelah shalat tepat waktu, sebagaimana sabda Rasulullah SAW, "Diriwayatkan dari 'Abdullah ibnu Mas'ud ra, dia berkata, "Aku bertanya kepada Nabi SAW, "Apa amalan yang paling disukai oleh Allah SWT?" Beliau menjawab, "Shalat tepat pada waktunya." Aku bertanya lagi, "Kemudian apa?" Beliau SAW menjawab, "Birrul walidain." Kemudian aku bertanya lagi, "Seterusnya apa?" Beliau menjawab, "Jihad fi sabililah.""" (HR. Muttafaqun 'alaihi)

5. Perintah berbakti kepada kedua orang tua didahulukan atas jihad dan hijrah. Dalilnya, selain hadits yang telah disebutkan sebelumnya, "Dari ‘Abdullah bin ‘Amr ra, dia berkata, “Ada seorang laki-laki yang meminta izin kepada Nabi SAW untuk berjihad, maka Rasulullah SAW bersabda kepadanya, "Apakah kedua orang tuamu masih hidup?" Dia menjawab, "Ya, masih.” Beliau pun bersabda, “Maka pada keduanya, hendaklah engkau berbakti."” [HR. Muttafaqun 'alaihi]

Sejalan dengan hadits tadi di hadits lain Rasulullah SAWpun bersabda, "Dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin al-‘Ash ra, dia berkata, “Ada seorang laki-laki menghampiri Nabi SAW seraya berucap, "Aku berbai’at kepadamu untuk berhijrah dan berjihad dengan mengharapkan pahala dari Allah." Beliau bertanya, "Apakah salah seorang dari kedua orang tuamu masih hidup?" Dia menjawab, "Ya, masih, bahkan kedua-duanya." Maka beliau bersabda. “Berarti engkau menginginkan pahala dari Allah?” Dia menjawab, "Ya.“ Beliau bersabda, “Kembalilah kepada kedua orang tuamu, lalu pergaulilah mereka dengan baik.””" [HR. Muslim]

Kita juga masih mengingat kisah Juraij yang hidup jauh sebelum masa Nabi Muhammad SAW yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim. Dimana dalam kisah tersebut diceritakan bahwa Juraij sedang sholat Sunnah dan ibunya memanggilnya. Dengan keraguan Juraij berkata kepada diri sendiri, 'Ya Allah, ibuku atau shalatku'. Tetapi Juraij memilih untuk meneruskan shalatnya. Tidak berapa lama ibunya memanggil untuk yang kedua kalinya. Juraij bertanya lagi kepada diri sendiri, 'Ya Allah, ibuku atau shalatku'. Tetapi beliau masih memilih untuk meneruskan shalatnya. Oleh karena terlalu kecewa akhirnya perempuan itu berkata, 'Ya Allah, sesungguhnya Juraij adalah anakku. Aku sudah memanggilnya berulang kali, namun ternyata ia enggan menjawabnya. Ya Allah, janganlah Engkau matikan ia sebelum ia mendapat fitnah yang disebabkan oleh perempuan pelacur'. Akhir cerita Juraij difitnah oleh seorang pelacur yang mengaku bahwa dia melahirkan anak dan anak tersebut adalah anak Juraij. Lalu orang beramai-ramai datang kepada Juraij. Mereka berteriak memanggil Juraij, yang pada waktu itu sedang shalat. Maka sudah tentu Juraij tidak melayani panggilan mereka, akhirnya mereka merobohkan bangunan tempat ibadahnya. Tatkala melihat keadaan itu, Juraij keluar menemui mereka. Mereka berkata kepada Juraij. 'Tanyalah anak ini'. Juraij tersenyum, kemudian mengusap kepala anak tersebut dan bertanya. 'Siapakah bapakmu?'. Anak itu tiba-tiba menjawab, 'Bapakku adalah seorang pengembala kambing'. Setelah mendengar jawaban dari anak tersebut, mereka kelihatan menyesal, lalu berkata. 'Kami akan mendirikan tempat ibadahmu yang kami robohkan ini dengan emas dan perak'. Juraij berkata, 'Tidak perlu, biarkan ia menjadi debu seperti asalnya'. Kemudian Juraij meninggalkannya".

6. Rasulullah SAW meletakkan, durhaka kepada kedua orang tua sebagai dosa besar nomor dua setelah syirik, sebagaimana sabda beliau SAW. "Diriwayatkan oleh Abu Bakrah Nufa'i al Harits ra, dia berkata, "Rasulullah SAW bersabda, "Tidakkah akan aku beritahukan kepada kalian dosa-dosa yang paling besar?" Beliau mengulangi lagi pertanyaan tsb tiga kali. Kemudian para sahabat mengiyakan. Lalu Rasulullah SAW menyebutkan, "Yaitu mempersekutukan Allah dan durhaka kepada ibu bapak." Kemudian beliau merubah posisi duduknya dan berkata lagi, "Begitu juga perkataan dan sumpah palsu." Beliau mengulangi lagi hal yang demikian hingga kami mengharapkan mudah-mudahan beliau tidak menambahnya lagi." (HR. Muttafaqun 'alaihi)

7. Rasulullah SAW mengaitkan keridhaan Allah dan kemarahan Allah SWT dengan keridhaan dan kemarahan orang tua, sebagaimana sabda beliau SAW, "Keridhaan Allah ada pada keridhaan orang tua, dan kemarahan Allah ada pada kemarahan orang tua." (HR. Tirmidzi)

Inilah ketujuh dalil yang membuktikan keistimewaan birrul walidain di dalam Islam. Seorang anak, meskipun telah berkeluarga, tetap wajib berbakti kepada kedua orang tuanya. Namun sangat disayangkan, betapa banyak orang yang sudah berkeluarga lalu mereka melupakan kewajiban ini. Dan ini mengingat kita kisah sahabat Al Qamah yang mengalami kesulitan ketika menjelang sakratul mautnya yang disebabkan ibunya tidak ridha, karena sang ibu merasa bahwa sang anak lebih memperhatikan sang isteri daripada dirinya. Dan Alhamdulillah diakhirnya sang ibu berkenan memaafkan anaknya, hingga akhirnya anaknya bisa menghembuskan nafasnya yang terakhir dengan mengucapkan kalimat tauhid.

Lalu apa bentuk-bentuk birrul walidain atau dengan kata lain bagaimana cara kita mewujudkan birrul walidain ini?

Ada banyak cara agar kita sebagai anak dapat mewujudkan birrul walidain ini, al;

1. Meminta izin ketika kita akan melakukan sesuatu dan mengikuti keinginan dan saran orang tua dalam berbagai aspek kehidupan, baik itu masalah pendidikan, pekerjaan, jodoh, dan masalah-masalah lainnya. Tentu saja keinginan kedua orang tua tsb. harus sesuai atau tidak bertentangan dengan ajaran Islam, sebagaimana firman Allah SWT di dalam surat Luqman ayat 15, "Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan Aku dengan sesuatu yang tidak ada pengetahuan tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik."

Dan sabda Rasulullah SAW bahwa, "Tidak ada ketaatan dalam maksiat kepada Allah, ketaatan hanya semata dalam hal yang ma'ruf." (HR. Muslim)

Dalam hal ini, akan bisa memunculkan masalah, dan masalah terjadi bila ada perbedaan antara saran orang tua dengan keinginan kita sebagai anak, misalnya saja dalam masalah memilih jodoh. Masalah ini merupakan salah satu masalah dari banyak masalah yang sering terjadi. Solusi yang sering diambil anak dalam masalah ini adalah menikah tanpa memberitahukan kedua orang tuanya atau kita sering dengar istilah kawin lari. Dan dari kawin lari ini kemudian akan menimbulkan masalah baru, dan masalah yang paling sering terjadi adalah adanya jarak antara anak dan orang tua, adanya jarak antara menantu dan mertua, atau orang tua merasa diabaikan oleh anaknya karena anaknya lebih mengutamakan isterinya. Dalam kasus-kasus seperti ini, akhlaq sang anak diuji. Maukah dia menomorduakan keinginannya demi untuk melaksanakan birrul walidain? Namun demikian, perlu dicatat, bahwa orang tua yang bijak, tidak akan begitu saja memaksakan kehendaknya kepada anaknya. Disinilah diperlukan dialog dan keterbukaan.

2. Menghormati dan memuliakan kedua orang tua

3. Bergaul dengan baik dan berkata kepada keduanya dengan perkataan yang lemah lembut sebagaimana firman Allah dalam surat Al Israa' ayat 23. "Dan Rabb-mu telah memerintahkan agar kamu jangan beribadah melainkan hanya kepada-Nya dan hendaklah berbuat baik kepada ibu-bapak. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berusia lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah engkau mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah engkau membentak keduanya, dan ucapkanlah kepada keduanya perkataan yang baik. Dan rendahkanlah dirimu terhadap keduanya dengan penuh kasih sayang dan ucapkanlah, ‘Ya Rabb-ku, sayangilah keduanya sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku pada waktu kecil."

4. Tawadhu’ (rendah hati) dan tidak boleh sombong apabila pendidikan sang anak lebih tinggi dari pada orang tuanya atau apabila sang sudah meraih sukses atau memenuhi jabatan di dunia, karena keberadaan kita di dunia melalui mereka berdua dan sewaktu kita lahir, kita berada dalam keadaan hina dan membutuhkan pertolongan, lalu orang tua kita memberi kita makan, minum, dan pakaian.

5. Membantu orang tua secara fisik dan finansial. Rasulullah SAW menjelaskan kepada kita bahwa betapapun banyaknya kita mengeluarkan uang atau membantu kedua orang tua, maka itu tidak sebanding dengan jasa mereka kepada kita.

6. Mendo'akan ibu bapak agar diberikan ampunan, rahmat, dan lain sebagainya, sebagaimana firman Allah dalam surat Nuh ayat 28 yang artinya, "Ya Rabbku, ampunilah aku, ibu bapakku, ...."

7. Setelah orang tua meninggal, birrul walidain masih dapat diteruskan dengan cara:

a. menyelenggarakan jenazahnya dengan sebaik-baiknya
b. melunasi hutang-hutannya
c. melaksanakan wasiatnya
d. meneruskan silaturrahmi yang dibinanya
e. memuliakan sahabat-sahabatnya dan
f. mendo'akannya

Sebagaimana hadits Rasulullah SAW, "Seorang laki-laki dari Bani Salimah datang bertanya kepada Rasulullah SAW, "Ya Rasulullah, adakah sesuatu yang masih dapat saya kerjakan untuk ibu bapak saya sesudah keduanya meninggal dunia?" Rasulullah SAW menjawab, "Ada, yaitu, mensholatkan jenazahnya, meminta ampunan baginya, menunaikan janjinya, meneruskan silaturahminya dan memuliakan sahabatnya."" (HR. Abu Daud)

Keutamaan birrul walidain, al:

1. Birrul walidain merupakan amal yang paling utama, sebagaimana sabda Rasulullah SAW, "Diriwayatkan dari 'Abdullah ibnu Mas'ud ra, dia berkata, "Aku bertanya kepada Nabi SAW, "Apa amalan yang paling disukai oleh Allah SWT?" Beliau menjawab, "Shalat tepat pada waktunya." Aku bertanya lagi, "Kemudian apa?" Beliau SAW menjawab, "Birrul walidain." Kemudian aku bertanya lagi, "Seterusnya apa?" Beliau menjawab, "Jihad fi sabililah.""" (HR. Muttafaqun 'alaihi)

2. Ridha Allah bergantung Kkepada ridha orang tua, sebagaimana sabda beliau SAW, "Keridhaan Allah ada pada keridhaan orang tua, dan kemurkaan Allah ada pada kemarahan orang tua." (HR. Tirmidzi)

3. Berbakti kepada orang tua dapat menghilangkan kesulitan yang sedang dialami. Kita masih ingat hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu ‘Umar ra mengenai kisah tiga orang yang terjebak dalam gua, dan salah seorangnya bertawassul dengan bakti kepada ibu bapaknya.

4. Diluaskan rizki dan dipanjangkan umur, sebagaimana sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam yang “Artinya "Barangsiapa yang ingin diluaskan rizkinya dan dipanjangkan umurnya, maka hendaklah ia menyambung silaturrahimnya.” (HR. Bukhari, Muslim, dan Abu Dawud)

5. Dimasukkan ke dalam surga oleh Allah SWT
Berbuat baik kepada orang tua dan taat kepada keduanya dalam kebaikan merupakan jalan menuju surga, sedangkan durhaka kepada orang tua akan mengakibatkan seorang anak tidak dapat masuk ke dalam surga. Dan di antara dosa-dosa yang Allah SWT segerakan adzabnya di dunia adalah berbuat zhalim dan durhaka kepada orang tua. Dengan demikian, jika seorang berbuat baik kepada orang tuanya, Allah akan menghindarkannya dari berbagai malapetaka, dengan izin Allah SWT dan akan dimasukkan ke dalam surgaNya.

Tentang masalah shalat birrul walidain riwayat yg tsiqah untuk hal itu memang sepertinya tidak ada, namun bisa dikiaskan pada shalat hajat untuk meminta kemuliaan, keberkahan dan anugerah bagi ayah bunda, maka hal itu masyru' (diakui keshahihan riwayatnya dan dibahas jelas dalam syariah).


Wallahu a`lam

Sabtu, 18 Januari 2014

MENJELASKAN HADITS


Bismillahirrohmanirrohiim

1. Apakah semua hadits butuh syarah/penjelasan dan tidak bisa hanya diambil dhohir lafadznya saja?

2. bagaimanakah hukumnya seseorang yg menjelaskan sebuah hadits hanya berdasarkan akal dan perasaannya dan hadist tersebut ia jadikan untuk mendukung opininya tentang suatu hal?

3. Apakah batal jika saat puasa kita membersihkan telinga, saya pernah dengar kalau pada saat puasa tidak boleh memasukkan sesuatu ke dalam lubang tubuh ?


JAWABAN :

Tidaklah semua orang bisa mengartikan hadits, karena untuk mengartikannya membutuhkan disiplin ilmu bahasa arab dan gramatikalnya (ilmu nahwu), ilmu tentang nasikh dan mansukh nya hadits serta mustolah hadits dan lain-lain. Oleh karena itu, tidak diperbolehkan untuk menafsirkan hadits sebelum mengetahui beberapa fan ilmu di atas. Namun haruslah berpegangan pada tafsiran para ulama’ yang kompeten dalam ilmunya, yaitu menggunakan kitab syarh mereka bukan dengan menggunakan akal pikiran sendiri. Karena memungkinkan hadits itu ternyata mansukh dengan hadits lain yang lebih akhir, atau tidak sesuai dengan maksud yang disampaikan oleh Nabi. Padahal Rasulullah SAW bersabda :

من كذب علي متعمداً فليتبوأ مقعده من النار

“ barang siapa secara sengaja mendustakan atasku, maka dia telah mempersiapkan tempatnya di neraka “

Sebagai contoh : hadits Nabi SAW :

عَنْ أَنَسٍ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ لِأَخِيهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ

Diriwayatkan dari sahabat Anas, bahwa Nabi SAW bersabda “ tidaklah beriman salah satu diantara kalian sehingga menyukai kebaikan bagi saudaranya apa yang dia suka bagi dirinya sendiri “

Jika kita pandang dari makna dhohir hadits saja, kita akan menganggap banyak orang menjadi kafir karena tidak menyukai untuk saudaranya apa yang dia suka untuk dirinya sendiri. Padahal itu sangatlah sulit bagi setiap orang mukmin, karena secara tabiat orang lebih menyukai untuk dirinya sendiri daripada untuk saudaranya. Adapun menurut para ulama’ maksud dari hadits tersebut adalah nafyul kamal (meniadakan kesempurnaan keimanan), artinya : tidaklah sempurna keimanan seseorang hingga dia menyukai kebaikan bagi saudaranya apa yang dia sukai bagi dirinya sendiri.

Demikian juga dengan hadits Nabi SAW :

لا صلاة لجار المسجد إلا في المسجد

“ tidak ada shalat bagi tetangga masjid kecuali di masjid ”

Dhohir arti hadits tersebut shalatnya orang yang bertetangga masjid yang dilakukan di rumah tidak sah. Sedangkan menurut para ulama’ maksud hadits tersebut adalah nafyul kamal (meniadakan kesempurnaan) : artinya tidaklah sempurna shalat tetangga masjid kecuali dilakukan di masjid.

Hadits lain Nabi SAW bersabda :

وَمَنْ كَانَ يُؤْمِن بِاَللَّهِ وَالْيَوْم الْآخِر فَلْيُكْرِمْ ضَيْفه

“ barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaknya memuliakan tamunya “

Dhohir arti hadits tersebut adalah orang yang tidak memuliakan tamunya atau bahkan mengusir tamunya dihukumi kafir. Padahal bukanlah demikian, karena yang dimaksud hadits tersebut sebagaimana keterangan ulama’ adalah alkamal (kesempurnaan iman). Artinya orang yang memuliakan tamu adalah orang yang sempurna keimanannya.

Dan masih banyak sekali hadits-hadits lain semisal hadits di atas yang tidak bisa kami sebutkan yang intinya kita tidak bisa hanya mengambil dari dhohir makna hadits tapi harus lebih dicermati lagi. Oleh karena itu wajib bagi kita yang belum kompeten dalam keilmuannya untuk berpegangan pada tafsiran para ulama’.

Adapun membersihkan telinga bagi orang yang sedang puasa, jika sampai pada bagian dalam telinga (batin telinga), menurut pendapat yang kuat membatalkan puasa jika dilakukan dalam keadaan sengaja dan ingat. Namun menurut pendapat yang lemah dan pendapat Imam al-Ghozali tidak membatalkan karena telinga bukan termasuk lubang yang tembus ke bagian dalam tubuh.

مقدمة ابن الصلاح – (ج 1 / ص 47)

عن أبي داود السنجي قال: سمعت الأصمعي يقول: أن أخوف ما أخاف على طلاب العلم، إذا لم يعرف النحو: أن يدخل في جملة قول النبي صلى الله عليه وسلم: ” من كذب علي فليتبوأ مقعدء من النارلأنه صلى الله عليه وسلم لم يكن يلحن، فمهما رويت عنه ولحنت فيه كذبت عليه. قلت: فحق على طالب الحديث أن يتعلم من النحو واللغة ما يتخلص به من شين اللحن والتحريف ومعرتهما. روينا عن شعبة قال: من طلب الحديث ولم يبصر العربية فمثله مثل رجل عليه رجل برنس ليس له رأس،أوكما قال. عن حماد بن سلمة قال: مثل الذي يطلب الحديث و لايعرف النحو مثل الحمار عليه مخلاة لا شعير فيها. وأما التصحيف: فسبيل السلامة منه الأخذ من أفواه أهل العلم والضبط، فإن من حرم ذلك: و كان أخذه وتعلمه من بطون الكتب، كان من شأنه التحريف، ولم يفلت من التبديل والتصحيف، والله أعلم.

الباعث الحثيث في اختصار علوم الحديث – (ج 1 / ص 19)

فرع آخر ” : ينبغي لطالب الحديث أن يكون عارفاً بالعربية. قال الأصمعي: ” أخشى عليه إذا لم يعرف العربية أن يدخل في قوله: ” من كذب علي متعمداً فليتبوأ مقعده من النار، فإن النبي صلى الله عليه وسلم لم يكن يلحنفمهما رويت عنه ولحنت فيه كذبت عليه ” .وأما التصحيف، فدواؤه أن يتلقاه من أفواه المشايخ الضابطين. والله الموفق.

شرح النووي على مسلم – (ج 1 / ص 126)

- قَوْله صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : ( لَا يُؤْمِن أَحَدكُمْ حَتَّى يُحِبّ لِأَخِيهِ أَوْ قَالَ لِجَارِهِ مَا يُحِبّ لِنَفْسِهِ )
هَكَذَا هُوَ فِي مُسْلِم لِأَخِيهِ أَوْ لِجَارِهِ عَلَى الشَّكِّ ، وَكَذَا هُوَ فِي مُسْنَد عَبْد بْن حُمَيْدٍ عَلَى الشَّكِّ ، وَهُوَ فِي الْبُخَارِيِّ وَغَيْره ( لِأَخِيهِ ) مِنْ غَيْر شَكٍّ ، قَالَ الْعُلَمَاء رَحِمَهُمْ اللَّه : مَعْنَاهُ لَا يُؤْمِن الْإِيمَان التَّامّ ، وَإِلَّا فَأَصْلُ الْإِيمَان يَحْصُل لِمَنْ لَمْ يَكُنْ بِهَذِهِ الصِّفَة . وَالْمُرَاد يُحِبّ لِأَخِيهِ مِنْ الطَّاعَات وَالْأَشْيَاء الْمُبَاحَات وَيَدُلّ عَلَيْهِ مَا جَاءَ فِي رِوَايَة النَّسَائِيِّ فِي هَذَا الْحَدِيثحَتَّى يُحِبّ لِأَخِيهِ مِنْ الْخَيْر مَا يُحِبّ لِنَفْسِهِقَالَ الشَّيْخ أَبُو عَمْرو بْن الصَّلَاح : وَهَذَا قَدْ يُعَدُّ مِنْ الصَّعْب الْمُمْتَنِع ، وَلَيْسَ كَذَلِكَ ، إِذْ مَعْنَاهُ لَا يَكْمُل إِيمَان أَحَدكُمْ حَتَّى يُحِبّ لِأَخِيهِ فِي الْإِسْلَام مِثْل مَا يُحِبّ لِنَفْسِهِ ، وَالْقِيَام بِذَلِكَ يَحْصُل بِأَنْ يُحِبّ لَهُ حُصُول مِثْل ذَلِكَ مِنْ جِهَةٍ لَا يُزَاحِمهُ فِيهَا ، بِحَيْثُ لَا تَنْقُص النِّعْمَة عَلَى أَخِيهِ شَيْئًا مِنْ النِّعْمَة عَلَيْهِ ، وَذَلِكَ سَهْل عَلَى الْقَلْب السَّلِيم ، إِنَّمَا يَعْسُرُ عَلَى الْقَلْب الدَّغِل . عَافَانَا اللَّه وَإِخْوَانَنَا أَجْمَعِينَ . وَاَللَّه أَعْلَم .

مغني المحتاج إلى معرفة ألفاظ المنهاج – (ج 5 / ص 202)

( وَالتَّقْطِيرُ فِي بَاطِنِ الْأُذُنِ ) وَإِنْ لَمْ يَصِلْ إلَى الدِّمَاغِ ( وَ ) بَاطِنِ ( الْإِحْلِيلِ ) وَهُوَ مَخْرَجُ الْبَوْلِ مِنْ الذَّكَرِ وَاللَّبَنِ مِنْ الثَّدْيِ وَإِنْ لَمْ يَصِلْ إلَى الْمَثَانَةِ وَلَمْ يُجَاوِزْ الْحَشَفَةَ أَوْ الْحَلَمَةَ ( مُفْطِرٌ فِي الْأَصَحِّ ) بِنَاءً عَلَى الْوَجْهِ الْأَوَّلِ ، وَهُوَ اعْتِبَارُ كُلِّ مَا يُسَمَّى جَوْفًا ، وَالثَّانِي : لَا ، بِنَاءً عَلَى مُقَابِلِهِ إذْ لَيْسَ فِيهِ قُوَّةُ الْإِحَالَةِ ، وَأُلْحِقَ بِالْجَوْفِ عَلَى الْأَوَّلِ الْحَلْقُ .قَالَ الْإِمَامُ : وَمُجَاوَزَةُ الْحُلْقُومِ ، وَيَنْبَغِي الِاحْتِرَازُ حَالَةَ الِاسْتِنْجَاءِ فَإِنَّهُ لَوْ أَدْخَلَ طَرَفَ أُصْبُعِهِ دُبُرَهُ بَطَلَ صَوْمُهُ ، وَكَذَا حُكْمُ فَرْجِ الْمَرْأَةِ وَلَوْ طَعَنَ نَفْسَهُ أَوْ طَعَنَ غَيْرَهُ بِإِذْنِهِ فَوَصَلَ السِّكِّينُ جَوْفَهُ أَوْ أَدْخَلَ فِي إحْلِيلِهِ أَوْ أُذُنِهِ عُودًا أَوْ نَحْوَهُ فَوَصَلَ إلَى الْبَاطِنِ بَطَلَ صَوْمُهُ .

التقريرات السديدة /451-452

المفطر السادس : وصول عين من منفذ مفتوح الى الجوف
(قوله: وصول عين) خرج به الهواء، فلا يضر وصول هواء الى الجوف وكذلك مجرد الطعم والريح بدون عين فلا يفطر ما وصل منهما الى الجوف. (قوله: منفذ مفتوح) خرج به اذا وصلت العين الى الجوف من منفذ غير مفتوح كالدهن ونحوه بتشرب المسام. وكل المنافذ مفتوحة في مذهب الإمام الشافعي الا العين، وكذلك الأذن عند الإمام الغزالي


Walllahu a`lam